TULISAN DALAM BLOG INI, JUGA DAPAT DIBACA DI:

21 August 2010

Copy Opini

Perubahan Itu Abadi dan Mutlak!

Oleh: DR. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, M.Si, MH
(Gubernur Sulawesi Selatan)

TIADA yang abadi kecuali perubahan! There is nothing permanent except change. Begitu dikatakan Heraclitus, filsuf yang hidup pada tahun 540-475 SM. Pernyataan yang tak lekang oleh masa. Karena bila kita meresapi pesan tersebut, maka kita akan selalu menyadari bahwa tak ada orang yang bisa hidup tanpa perubahan. Dan perubahan itu berada di segala lini. Bukan hanya usia kita sendiri. Tapi semua elemen kehidupan, termasuk sistem yang bergerak sesuai era yang dikehendaki maupun sesuai zamannya. Namun tentulah dari setiap perubahan itu, kita tak menghendaki perubahan yang revolusioner yang instan, tapi berlangsung sesuai zaman yang mengikutinya.

Kalau kita tidak berubah, pasti mati. Karena setiap detik terjadi perubahan. Dan
perubahan sudah mengglobal. Dunia menjadi hanya sebesar sebuah desa kecil akibat
teknologi, telekomunikasi, transportasi, dan hubungan perdagangan termasuk tourism.
Maka akselerasi positif dan negatif antara satu negara atau daerah dengan yang lain
sangat besar. Sejalan dengan Edmund Burke bahwa "A state without the means of some change is without the means of its conservation". Negeri tanpa perubahan adalah negeri yang tak akan lestari. Oleh karena itu, pasti saja kita harus mengantisipasi dan memanajemeni perubahan yang ada dengan pendekatan-pendekatan baru.

Cara-cara lama yang sukses, tidaklah bisa menggaransi kesuksesan yang ada saat
ini maupun yang ke depan lagi. Kita harus berubah. Tetapi seperti apa perubahan itu,
harus pula menjadi exercise (latihan) baru yang benar-benar terkaji dengan matang. Tidak bisa asal berubah, tetapi harus berubah karena sesuai yang dikehendaki dan menjadi tuntutan dari zaman yang ada. Yang pasti, kalau tidak berubah, pasti tertinggal. Akselerasi kehidupan yang mengalami perubahan yang sangat cepat, tidak tertahankan oleh kekuatan apapun di dunia ini. Terlebih kemajuan peradaban yang diresonansikan oleh teknologi, perhubungan atau transportasi, maupun telekomunikasi. Kepentingan perdagangan dan kepentingan universal lainnya menjadikan dunia menjadi sebuah desa kecil yang saling mempengaruhi baik ke arah yang positif maupun bawaan-bawaan negatif.

Pengaruh yang mengglobal itu seakan tidak ada lagi kisi teritorial negara apalagi
daerah yang memiliki kuasa yang sangat kokoh untuk membendung dan bertahan agar
tidak terterobos dengan perubahan-perubahan yang signifikan. Dan terkadang mengejutkan, bila tidak diantisipasi dan di-manage dengan baik, karena akan berdampak
buruk bagi kehidupan sebuah negara atau daerah itu. Enstein mengatakan dalam sebuah bukunya bahwa jika paradigma (model) sebuah negara atau komunitas berubah maka semua pendekatan harus menyesuaikan bentuk-bentuk. Cara-cara lama yang sukses pasti tidak bisa menjamin lagi. Dalam buku lainnya, ia mengatakan kalau kamu tidak berubah maka tinggal tunggu kematianmu. Akankah kita harus menunggu kematian disebabkan kita tidak siap dan mengantisipasi perubahan yang selalu datang itu? Tentulah tak arif jika kita hanya menyikapi perubahan dengan kepasrahan yang tak beralasan. Apalagi, di era kini kita sedang menapaki berbagai perubahan yang terkadang sekonyong-konyong dan tidak terdeteksi. Ibarat tsunami di Aceh, kita tak siap mengantisipasinya. Mengapa? Karena hal itu terjadi secara tiba-tiba dan instan. Padahal, mestinya, perubahan tak dilakukan secara tergesa-gesa dan hanya mengikuti kemauan sesaat yang emosional.

Sejak reformasi di negeri ini, kita sudah banyak diajari beragam perubahan yang instan tanpa ditataki oleh elemen terkait lainnya yang sekian lama di negeri ini menjadi acuannya, yaitu misalnya genius culture. Kekayaan budaya serta pengalaman masa silam yang mengikuti ritme perubahan secara mendasar dan tak termakan oleh zaman, sepertinya tertepis. Akibatnya, perubahan dari setiap perubahan yang instan itu hanya menjadi perubahan yang dipaksakan tanpa dilandasi oleh kebutuhan dari perubahan yang hakiki. Akibat lainnya, revisi dari perubahan yang telah dilakukan, terjadi di setiap saat. Mestinya memang, perubahan mendasar itu dilandasi oleh tiga komponen yakni intelektual akademik, manajerial, serta perilaku. Perubahan mendasar yang berlandas intelektual akademik itu dibutuhkan sebagai acuan agar perubahan yang diharapkan itu sesuai koridor semua orang. Kalau pun ada yang tak sesuai, terjadi minimalisasi dari dampak negatif perubahan tersebut. Adapun tentang manajerial, juga sangat penting agar elemen struktural dari birokrasi bisa mengantisipasi setiap perubahan. Dan perilaku menjadi landasan utama dari setiap perubahan untuk menyikapi segala masalah yang timbul maupun yang akan timbul. Revisi pada dasarnya adalah perubahan. Tapi tidaklah perubahan itu dikarenakan salah dalam menyikapi atau memanajeri suatu perubahan? Apalagi jika dilakukan secara cepat untuk kepentingan politis belaka. Sebab, pengalaman atau sejarah mengungkapkan bahwa segala perubahan yang instan itu akan sia-sia. Lagipula, perubahan yang tak distorsi [distortif] hanya berjalan jika tidak instan. Semua butuh waktu untuk perfect! Karena, menurut Wendell Philips, every step of progress that the world has made has been from scaffold to scaffold and from stake to stake to stake. Di dalam menapaki perubahan yang bersifat mutlak, berbagai alasan klasik untuk tidak berubah, misalnya saya sudah terlalu tua untuk berubah, kerap pula terdengar. Padahal mestinya tidak bisa lagi terlalu terpaku pada cara-cara lama. Tak bisa lagi terlalu takut akan makin banyak persoalan ataupun terlalu mudah untuk menyadari perubahan. Dan tidak bisa dijadikan sebagai alasan pemaaf.

Mempertahankan apa yang ada dan dianggap mapan serta telah dipahami selama ini, sedangkan akselarasi yang cepat dari perubahan itu terus berlangsung, maka bila itu terjadi, pasti organisasi atau daerah, bahkan negara, akan lebih jauh tertinggal dari era yang ada. Karena pengertian perubahan, yakni ada sesuatu yang berbeda dari apa yang pernah ada. Oleh karena itu harus terus dilakukan penyesuaian. Satu contoh praktis, bila pimpinan ingin terjadi respon perubahan dalam jajarannya maka ia harus mendorong upaya pemberdayaan dan pendelegasian kewenangan yang cukup yang dibarengi kepercayaan yang tinggi agar staf atau bawahan terbiasa merespon dan merefleksi perubahan yang terjadi di sekitarnya.

Loqus cultur [Locus culture] harus diperhatikan. Aja' muangowai onrong, aja'to muacinnai tanrétudangeng, dé'tu mulléi padécéngi tana. Risappa'po muompo', rijello'po muakkégau' (secara terjemahan bebas kurang lebih: jangan rakus kedudukan, jangan gila jabatan tinggi, karena sikap seperti itu tidak akan mendatangkan kebaikan buat negeri. Kalau dicari baru kau tampil, kalau diberi amanah baru kau berkarya). Dengan kata lain: jangan ambisius. Agar tidak terjadi pergesekan yang justru berujung anarkis. Makanya, perubahan yang sedang menggelayut di kehidupan kita ini, walau menjadi abadi dan mutlak, tapi tetap saja dilakukan secara hati-hati dan arif agar pula perubahan itu lebih banyak manfaatnya ketimbang mudaratnya!

*Tulisan ini telah melalui proses editing tanpa mengurangi maknanya (DF)
*Disadur dari http://www.sayangmaros.co.cc

No comments:

Post a Comment

Sampaikan Komentar Anda !!!

Massappa Werekkada