TULISAN DALAM BLOG INI, JUGA DAPAT DIBACA DI:

14 August 2010

LKS MEMBUNUH KREATIVITAS

LKS merupakan buku rangkuman materi pelajaran yang disertai dengan kumpulan soal, terutama soal-soal pilihan ganda. Kegiatan pembelajaran yang menggunakan LKS sebagai satu-satunya sumber belajar akan dapat mematikan daya kritis dan kreatifitas siswa, karena kecenderungan siswa hanya menghafal jawaban. Oleh sebab itu perlu diadakan pola pembelajaran yang efektif dan komperhensif (kognitif, psikomotorik dan afektif). Siswa tidak hanya dituntut pandai menjawab soal-soal LKS tetapi mereka dapat berpikir logis, menganalisis dan membandingkan, serta mempertanyakan dan mengevaluasi. Ketika membaca suatu teks, siswa harus dilatih untuk membaca secara kritis. Kemudian dapat menkontekstualisasikan dengan cara memecahkan problem-problem yang terjadi di sekitar masyarakat.

Hampir di setiap sekolah banyak ditemui telah menggunakan buku LKS (Lembar Kerja Siswa) sebagai salah satu refrensi atau bahkan satu-satunya refrensi yang digunakan oleh guru. Padahal LKS sebenarnya hanya merupakan buku rangkuman materi pelajaran yang disertai dengan kumpulan soal, terutama soal-soal pilihan ganda. Teknik penggunaan LKS;guru biasanya memberikan tugas kepada siswa dengan mengerjakan soal-soal yang telah tersedia, dan ketika mereka tidak dapat menjawab, maka siswa akan mencari jawabannya dalam rangkuman materi pelajaran di LKS tersebut. Kegiatan pembelajaran yang menggunakan LKS sebagai satu-satunya sumber belajar akan dapat mematikan daya kritis dan kreatifitas siswa, karena kecenderungan siswa hanya menghafal jawaban. Padahal, selain menghafal siswa semestinya diajak untuk terlibat secara langsung untuk memahami, mendalami isi bacaan (bukan hanya rangkuman) yang kemudian diaktualisasikan dengan fenomena yang terjadi di lingkungan mereka, sehingga siswa dapat berfikir kritis dan kreatif dalam memecahkan problem yang terjadi di lingkungan sekitar.

Sebagian besar buku LKS hanya menyajikan rangkuman materi yang berupa poin-poin penting saja, bukan suatu bacaan yang lengkap. Dengan model ini, siswa diibaratkan hanya dijejali dengan teori dan informasi saja, tanpa diberi kesempatan untuk mengevaluasi dan menyimpulkan sendiri materi pelajaran tersebut. Model rangkuman seperti ini mungkin saja baik bagi siswa yang sudah terlebih dulu membaca materi pelajaran yang ada di dalam buku teks. Akan tetapi, masalahnya adalah bahwa banyak sekolah – terutama sekolah negeri – yang menjadikan LKS ini sebagai satu-satunya buku pelajaran. Dengan demikian, melalui bacaan yang berupa rangkuman materi tersebut dalam LKS tersebut, kesempatan siswa untuk membaca kritis tidak tersedia. Bacaan-bacaan seperti itu hanya mengajarkan kepada siswa untuk menghafalkan fakta-fakta yang ada tanpa memberikan kesempatan untuk memikirkannya lebih jauh. Kondisi ini mirip dengan apa yang dituliskan oleh Raths dkk pada tahun 1967 yang menyatakan bahwa “…memorizati on, drill, homework, and the quiet classroom were rewarded, while “…inquiry, reflection and the consideration of alternatives were frowned upon” (Carr, 1990). Berkaitan dengan model soal pilihan ganda yang terdapat dalam buku LKS, badan American Education Reform pada tahun 1991 menyatakan bahwa soal-soal pilihan ganda tidak dapat digunakan untuk menguji kemampuan berpikir tingkat tinggi, kemampuan problem solving, kreativitas, dan sikap inisiatif. Jenis soal pilihan ganda hanya dapat melatih kemampuan berpikir tingkat rendah seperti menghafal (Lynn, et al, 1991. Pada tataran inilah, kami ingin mengatakan bahwa LKS cenderung mengabaikan aspek psikomotorik.

Pasal 25 (4) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menjelaskan bahwa kompetensi lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ini berarti bahwa pembelajaran dan penilaian harus mengembangkan kompetensi peserta didik yang berhubungan dengan ranah afektif (sikap), kognitif (pengetahuan), dan psikomotor (keterampilan). . Ketiga ranah ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain secara eksplisit Pada umumnya penilaian yang dilakukan oleh pendidik lebih menekankan pada penilaian ranah kognitif. Hal inilah yang terjadi pada pola pembelajaran yang terpusat hanya pada LKS.
Oleh sebab itu perlu diadakan pola pembelajaran yang efektif dan komperhensif (kognitif, psikomotorik dan afektif). Berkaitan dengan psikomotor, Bloom (1979) berpendapat bahwa ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Buttler (1972) membagi hasil belajar psikomotor menjadi tiga, yaitu: specific responding, motor chaining, rule using. Pada tingkat specific responding peserta didik mampu merespons hal-hal yang sifatnya fisik, (yang dapat didengar, dilihat, atau diraba), atau melakukan keterampilan yang sifatnya tunggal. Pada motor chaining peserta didik sudah mampu menggabungkan lebih dari dua keterampilan dasar menjadi satu keterampilan gabungan. Pada tingkat rule using peserta didik sudah dapat menggunakan pengalamannya untuk melakukan keterampilan yang komplek.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa siswa tidak hanya dituntut pandai menjawab soal-soal LKS tetapi mereka dapat berpikir logis, menganalisis dan membandingkan, serta mempertanyakan dan mengevaluasi (Raths et al, 1967). Ketika membaca suatu teks, siswa harus dilatih untuk membaca secara kritis. Membaca secara kritis didefinisikan sebagai belajar mengevaluasi dan menyimpulkan isi suatu bacaan, kemudian dapat menkontekstualisasikan dengan cara memecahkan problem-problem yang terjadi di sekitar masyarakat.

Salah satu metode mengembangkan ranah psikomotorik adalah dengan meningkatkan kemampuan membaca kritis ya’ni dengan menyediakan bahan bacaan seperti koran, majalah, dan artikel di dalam kelas (Carr, 1990). Dengan membaca media tersebut, siswa akan dilatih untuk menjadi pembaca yang mempertanyakan isi dari bacaan. Siswa akan membangun argument-argumennyanya sendiri untuk kemudian disampaikan dalam diskusi kelas.

No comments:

Post a Comment

Sampaikan Komentar Anda !!!

Massappa Werekkada