TULISAN DALAM BLOG INI, JUGA DAPAT DIBACA DI:

16 March 2009

Makalah Paralel Seminar Nasional

PEMASUNGAN ANAK NEGERI
SEBUAH KEJAHATAN TERSELUBUNG DI DUNIA PENDIDIKAN
(Sebuah Tulisan untuk Menjawab, Kenapa Mutu Pendidikan Indonesia Rendah?)

Oleh: Yasser Arafat Amiruddin
(Mahasiswa Program Pascasarjana Unismuh Makassar & Guru SMA Negeri 1
Maniangpajo)

Diajukan pada Seminar Nasional dan Workshop
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar
"Melalui Lesson Study dan Penelitian Tindakan Kelas (PTK): Kita
Tingkatkan Profesionalisme Guru"
Sengkang, 15 Maret 2009

A. Pendahuluan
Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah
lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, siswa kurang
didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran
di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan siswa untuk menghafal
informasi; otak siswa dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai
informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu
untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya? Ketika
anak didik kita lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis,
tetapi mereka miskin aplikasi.
Berbicara tentang Pendidikan, menyisakan banyak kenangan. Ujian
Nasional yang terbilang berat dilalui dengan mudah dan dengan hasil
yang menggembirakan. Meski dalam persyaratan kelulusan semakin gila.
Lebih berat lagi, UN menggunakan sistem paket, tapi semua itu layaknya
hanya sebuah bumbu-bumbu pendidikan karena hasil yang dicapai patut
diacungi jempol, walau masih banyak kecurangan yang ditemukan.
Bocornya soal, bahkan ada oknum Kepala Sekolah yang berani mencuri
soal adalah hal yang juga tidak akan terlupakan dari pelaksanaan UN
dari tahun ke tahun. Kerja sama antara guru dan siswa dalam
pelaksanaan UN seperti Guru memanggil siswa ke WC kemudian memberikan
kunci jawaban di tempat tersebut. Ataukah Guru mengirim jawaban
melalui SMS ke handphone siswanya, juga menjadi bagian tak terpisahkan
dari kenangan Ujian Nasional. Sebenarnya hal tersebut sudah menjadi
rahasia umum di dunia pendidikan kita, akan tetapi demi sebuah tatanan
kehidupan yang baik mestinya sikap seperti ini ditiadakan. Apa artinya
sebuah ijazah dengan nilai yang bukan dari hasil jerih payah sendiri.
Dewasa ini banyak orang pintar dari segi kognitifnya, tapi rusak
mentalnya. Orang seperti inilah yang merusak masyarakat dengan
tindakannya yang amoral seperti korupsi, melakukan tindakan kriminal,
dll.
Selain kecurangan tersebut, kejahatan lain yang menjadi jurus jitu dan
andalan siswa selama ini adalah kerjasama/menyontek dan buka
buku/catatan saat ujian. Diakui "virus" macam ini kadang membuat
jengkel berbagai pihak. Entah sampai kapan kata yang satu ini hilang
di dada setiap pelajar. "ah, ndak usah belajar, nyontekkan lebih
mudah". Kilah seorang pelajar badung. Sehingga kadang mutu hasil
evaluasi tak menjamin, padahal ditengah gencarnya peningkatan SDM, kok
yang satu ini (menyontek) masih tetap jadi "anutan" bahkan menjadi
"senjata pamungkas" dikalangan pelajar. Memang budaya menyontek enak
ketimbang menghafal berbagai teori dan rumus yang menjemukan.
Terkadang hal tersebut membuat pelajar jengkel jika yang dihafal tidak
ada diujian dan malah yang tak disangka naik itu yang ada dalam soal.
Seiring dengan diterapkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004
yang dilanjutkan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
ternyata muncul lagi jurus baru yang tak kalah ampuhnya, yakni sebuah
kata keramat yang sering disebut dengan nama remedial. Diakui bahwa
remedial sebenarnya untuk menuntaskan pelajaran siswa. Tapi, apakah
kita tidak pernah berpikir bawah remedial memiliki andil yang sangat
besar dalam melawan cita-cita perjuangan bangsa sesuai yang
diamanahkan UUD 1945 "mencerdaskan kehidupan bangsa". Hal tersebut
dikarenakan malah memacu siswa untuk tidak belajar. "boro-boro
belajar, pasti tuntas juga, khan ada remedial", dari pelajar malas.
Hasilnya, "Mutu pendidikan rendah". Ini salah siapa? Jangan salahkan
siapa-siapa, tapi mari kita bertanya kepada penentu kebijakan. Apa
artinya dipertegas, tidak ada ujian susulan/pengulangan bagi yang
tidak mencapai SKL/tidak lulus, jika hanya tiga hari setelah
pengumuman mereka yang tidak lulus ikut ujian penyetaraan? Pertanyaan
sekarang, apa bedanya ujian susulan dengan ujian penyetaraan? Inilah
kondisi nyata pendidikan kita.
Harus diakui bawah, tingginya buta aksara di Indonesia adalah sebuah
fenomena sosial yang harus diterima. Padahal, Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 telah mengamanahkan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Yang menjadi masalah sekarang, apakah dengan perubahan kurikulum
tersebut akan menimbulkan pertanyaan "Beginikah Pendidikan Indonesia?"
atau memunculkan pernyataan "Inilah Pendidikan Indonesia". Jika
dicermati lebih jauh pasti dalam benak kita akan lahir pertanyaan dan
bukan pernyataan. Padahal, jika pertanyaan yang muncul pasti kesan
negatif yang dikandung didalamnya. Namun, mesti diapa lagi kenyataan
seperti itu yang terjadi di negeri yang tercinta ini.
Sejak beberapa tahun yang lalu pengembangan dan peningkatan akses
pelayanan pendidikan luar sekolah (PLS), dianggap sebagai solusi yang
tepat mengatasi tingginya buta aksara. Dibentuklah beberapa kelompok
keaksaraan fungsional, kelompok belajar usaha, taman belajar bermain,
pendidikan anak usia dini, kejar paket A, kejar paket B, kejar paket
C, dll. Namun, apakah kita tidak berpikir bahwa kejar Paket A yang
dianggap setara dengan pendidikan SD, kejar paket B yang setara dengan
SMP, dan kejar paket C yang setara dengan SMA pada dasarnya telah
merusak pendidikan Indonesia.
Kenapa bisa? Kejar paket A/B/C ternyata telah memberi keuntungan yang
sangat besar pada segala aspek (kecuali kualitas), sehingga banyak
orang yang hanya jebolan kejar paket C dapat menjadi wakil rakyat ,
wakil dari mereka yang lulusan S.1 ataupun S.2/S.3.
Bukan bahan lelucon lagi disaat mereka yang lulus dipendidikan formal
dipimpin oleh mereka yang tamat dipendidikan nonformal. Kenapa dari
sini kita tidak pernah berpikir bagaimana kualitas mereka? Bagaimana
jadinya disuatu saat nanti lulusan kejar paket C mengajar di
Pascasarjana?
Bahkan, penulis khawatir, dimasa yang akan datang pemerintah kembali
membentuk kejar paket D yang setara dengan Diploma atau kejar paket E
yang setara dengan program strata, hingga akhirnya pendidikan di
Indonesia berakhir dengan Paket Kejar-kejaran.
Tanda-tanda pendidikan di Indonesia mengarah ke Paket Kejar-Kejaran
pun dewasa ini mulai terlihat. Dalam suatu kesempatan penulis pernah
melihat surat keputusan dari seorang guru honorer yang tidak masuk
akal. Guru tersebut tamat SMA pada bulan Juni 2005, namun telah
diperbantukan sebagai guru honor pada bulan Juli 2004. Usut punya
usut, ternyata surat pengangkatan guru honorer tersebut adalah SK.
Siluman atau SK. Palsu untuk keperluan mendaftar CPNS.
Makanya, jangan heran ketika seorang guru masuk mengajar, di dalam
kelas terlihat sepucuk surat sakti dari seorang siswa yang memberikan
informasi bahwa yang bersangkutan sakit. Tapi, ternyata malah
keluyuran ke tempat ramai. Itu disebabkan, karena guru yang
dipercayakan mencerdaskan kehidupan bangsa mengajarkan kebohongan,
padahal pada hakekatnya guru adalah orang yang patut ditiru dan
diteladani.
Fenomena lain yang muncul, guru tidak ikhlas lagi memberi pengetahuan
kepada siswa, visi utama dari guru sekarang adalah menuntut
kesejahteraan yang menjadi haknya. Tapi, belum melaksanakan
kewajibannya sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan keyakinan kepada
manusia agar dapat menerapkan seluruh pengetahuannya dalam kehidupan
sehari-hari? Ini yang menjadi masalah. Mengedepankan menuntut hak,
sementara kewajiban tidak dilaksanakan sungguh-sungguh, terbukti
dengan adanya keluhan dari siswanya sendiri.
Seorang Ustadz dalam ceramahnya pernah berkata, Indonesia merdeka
tahun 1945, Jepang di bom tahun 1945. Tapi, kenapa pendidikan Jepang
jauh lebih maju dibanding Indonesia. Itu karena kesadaran guru di
Jepang untuk meningkatkan mutu pendidikan jauh lebih tinggi dibanding
guru di Indonesia. Guru Jepang mengikhlaskan ilmunya dicerna oleh
siswanya, sementara guru Indonesia masih menyembunyikan sedikit
ilmunya karena mungkin takut disaingi oleh siswanya. Buktinya, mutu
pendidikan Indonesia masih jalan ditempat. Lucunya, tidak ada
antisipasi untuk meredam masalah tersebut, bahkan malah diperparah
dengan banyaknya guru yang memilih mogok mengajar.
Seiring dengan perkembangan zaman, ada pula guru menampilkan sikap
ketidak profesionalismenya. Dalam sebuah acara, juga terungkap bahwa
guru tidak mampu mengendalikan emosinya, sehingga senyuman siswa
ditanggapi dengan pukulan dari guru ke siswa tersebut. Adalah hal yang
tidak pantas dilakukan oleh seorang guru, sebagai orang yang ditiru
dan digugu. Bahkan, pernah seorang siswa dilempari yoyo dari seorang
guru pend. Seni, hanya karena berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Padahal, tingkah siswa tersebut sudah benar. Lagu Indonesia Raya harus
dinyanyikan dengan khidmat dan dengan posisi siap
Menurut hemat penulis, Pahlawan tanpa tanda jasa kita kini telah
bermetamorfosis. Hanya metamorfosis guru tidak sama dengan kupu-kupu
dari kepompong menjadi kupu-kupu dewasa yang cantik, melainkan potret
guru dari yang miskin tapi tetap konsisten dengan tugasnya menjadi
seorang guru yang ingin kaya sehingga kadang lalai dengan tugas
pokoknya.
Sebuah fenomena guru yang harus diterima ketika Iwan Fals
menggambarkan sosok Oemar Bakri yang hanya memiliki sepeda buntut.
Serial Ada Apa Dengan Cinta mengisahkan Bakir seorang guru yang
terbelilit utang hingga pinjam uang koperasi dan dituduh mencuri HP
siswanya sendiri dan akhirnya menjadi tukang ojek, ataukah kisah Guru
yang Sengsara dalam Pintu Hidayah yang mengisahkan Mahmud seorang guru
hidup dalam kemiskinan, pulang dari sekolah berprofesi tukang ojek,
jadi tukang potong rumput di rumah tetangga dan jadi pemulung. Tapi
mereka masih tabah dan ikhlas mengabdi dengan tugas negara yang
diembannya.
Tugas guru mencerdaskan kehidupan bangsa, jika guru ikhlas
melaksanakan tugas tersebut, Insya Allah yang dituntut akan terwujud.
Penulis berharap semoga metemorfosis guru kedepan adalah menjadi guru
yang diamanahkan UUD 1945, bukan menjadi buruh yang selalu meminta
balas jasa. Amin
Dalam benak penulis, selalu hadir 1001 tanda tanya. Kenapa dunia
pendidikan Indonesia seperti ini? Jika hal tersebut sudah membudidaya
di bumi pertiwi ini, akan dibawa kemana bangsa ini kedepan? Dunia
pendidikan kita sudah dibelenggu kejahatan terselubung yang dapat
menghambat perkembangan sumber daya manusia serta iman dan taqwa
siswa.
Sekarang, apa jadinya disaat semua itu hanya sebuah wacana saja. Dunia
pendidikan kita sudah dibelenggu dengan kejahatan yang tidak
dirasakan, yang oleh selanjutnya, penulis menyebutnya kejahatan
terselubung di dunia pendidikan. Kejahatan-kejahatan tersebut adalah
sebuah bentuk pemasungan bagi anak negeri. Berdukalah dunia pendidikan
Indonesia, kemana semangat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun
Karso, Tut Wuri Handayani yang selalu didengung-dengungkan Bapak
Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantoro? Berdukalah dunia pendidikan,
Inna Lillahi Wainna Ilaihi Rajiun.
Pertanyaan selanjutnya, dimana letak keprofesionalisme kita selaku
pendidik? Akankah keprofesionalisme, masih kita nodai dengan sifat
kemunafikan? Apakah kita akan tetap membiarkan keprofesionalisme
seorang guru masih dironrong oleh kezaliman zaman? Maukah kita dicap
sebagai penghianat bangsa, yang telah menyia-nyiakan amanah bangsa
"mencerdaskan kehidupan bangsa"?

B. Sebuah Kejahatan Terselubung
Menurut DR. A Chaedar (2004), di abad ke-21 ini kita terperangkap oleh
akumulasi Iptek, dan pendidikan tampil sebagai kriteria penentu dalam
mengkaji banding tingkat perkembangan dan pembangunan nasional dan
internasional. Keberhasilan pembangunan, terutama pada tingkat
nasional akan sangat ditentukan oleh pendidikan itu sendiri. Jika
pendidikan bermutu, maka pembangunan dalam segala aspeknya juga akan
berlangsung dengan baik. Demikian juga sebaliknya, jika pendidikan
tidak bermutu maka pembangunan dapat dipastikan tidak dapat
berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Hal ini mengingat mutu
pendidikan identik dengan mutu sumber daya manusia (SDM), yang
merupakan pelaku utama dalam aktivitas pembangunan.
Seiring dengan itu pula, Tidak ada habis-habisnya jika kita berbicara
tentang pendidikan di negara kita. Dalam dunia pendidikan kita sudah
dibelenggu dengan kejahatan yang tidak dirasakan. Sehingga, di
Indonesia, 8% anak usia 12 tahun kebawah, 36% anak usia 13 – 15 tahun
dan 43% anak 15 – 18 tahun belum disentuh dunia pendidikan. Tak
mengherankan memang jika dari 112 negara, Indonesia berada diurutan
110 berdasarkan Human Developmen Index ataukah dari 12 negara,
Indonesia berada diurutan paling buntut berdasarkan penelitian
Political Risk Consultation. Sementara hal yang mestinya tidak boleh
dibanggakan malah menembus posisi nomor wahid di dunia yakni angka
kriminal, korupsi, kebutaan, penjarahan hutan, penganguran dll. Di
sisi lain, sektor pendidikan masih terus diperlukan untuk
mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bertahan
menghadapi dunia persaingan global.
Untung di Indonesia masih ada Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku sampai saat ini. UU tersebut
mempunyai tujuan yang sangat mulia yakni membangun manusia Indonesia
seutuhnya. Selain itu visi UU tersebut adalah terwujudnya sistem
pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia
yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman
yang selalu berubah. Akan tetapi, kenapa tujuan mulia ini hanya
sebatas wacana yang selalu dibicarakan dari seminar ke seminar?
Olehnya itu, sistem pendidikan Indonesia masih membutuhkan
pemikir-pemikir yang intelektual untuk memecahkan berbagai macam
persoalan yang ditemui dalam perjalanan mencapai tujuan sistem
pendidikan nasional yang telah diamanahkan pembukaan UUD 1945
"Mencerdaskan kehidupan bangsa".
Disadari atau tidak, keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia apabila kegiatan belajar mampu membentuk pola tingkah laku
peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan, serta dapat dievaluasi
melalui pengukuran dengan menggunakan tes dan non tes. Proses
pembelajaran akan efektif apabila dilakukan melalui persiapan yang
cukup dan terencana dengan baik supaya dapat diterima untuk memenuhi:
(1) Kebutuhan masyarakat setempat dan masyarakat global; (2)
Mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi perkembangan dunia
global; (3) Sebagai proses untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih
tinggi.
Itulah pendidikan, suatu hal yang selalu menarik untuk dibicarakan dan
tak habis-habisnya untuk dikaji sepanjang peradaban manusia, maka
sepanjang itu pula pendidikan selalu dibutuhkan dan diperlukan.
Pendidikan sudah menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan umat manusia.
Mengingat pentingnya pendidikan baik dalam kehidupan pribadi maupun
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Bangsa Indonesia dalam
menyusun program pembangunan tetap memberikan perhatian khusus pada
sektor pendidikan.
Sektor pendidikan masih terus diperlukan untuk mengembangkan sumber
daya manusia (SDM) yang berkualitas dan mampu bertahan menghadapi
dunia persaingan global. Kebijakan pemerintah menggunakan kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP) sebagai suplemen dari kurikulum
berbasis kompetensi 2004 diharapkan mampu dalam mengembangkan SDM
generasi muda Indonesia.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) disusun dengan
memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah peningkatan iman dan
taqwa serta akhlak mulia. Keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia
menjadi dasar pembentukan kepribadian siswa secara utuh. Kurikulum
yang disusun harusnya memungkinkan semua mata pelajaran dapat
menunjang peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia
Penyempurnaan kurikulum dilakukan sebagai respon terhadap tuntutan
perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan tuntutan
desentralisasi, serta hak asasi manusia yang harus dikuasai oleh
generasi muda Indonesia untuk memancing minat mereka untuk tetap
menuntut ilmu sepanjang hayat demi masa depannya. Namun, perlu diakui
bahwa wacana mengenai masa depan, kadang-kadang banyak menyentuh
aspek-aspek dari pangkal masalah yang dihadapi. Agenda masa depan
bangsa Indonesia dewasa ini adalah dibutuhkan sumber daya manusia yang
handal dan berkualitas mental dan perilaku bangsa yang benar-benar
bebas dari virus KKN sehingga dengan demikian mempunyai kesiapan
menghadapi persaingan global.
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan
potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan
suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa, setiap masa pelajaran yang
diajarkan di sekolah mengandung tiga aspek pokok yakni substansi,
keilmuan, dan nilai. Ketiga aspek tersebut diterima oleh siswa melalui
interaksi edukatif dalam proses pembelajaran di sekolah. Kurikulum
dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (1)
belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2)
belajar untuk memahami dan menghayati, (3) belajar untuk mampu
melaksanakan dan berbuat secara efektif, (4) belajar untuk hidup
bersama dan berguna bagi orang lain, dan (5) belajar untuk membangun
dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif,
kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa siswa memiliki posisi
sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan
tersebut pengembangan kompetensi siswa disesuaikan dengan potensi,
perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan siswa serta tuntutan
lingkungan.
Namun, apa jadinya disaat semua itu hanya sebuah wacana saja. Dunia
pendidikan kita sudah dibelenggu dengan kejahatan yang tidak
dirasakan, yang oleh selanjutnya, penulis menyebutnya pemasungan anak
negeri yang merupakan kejahatan terselubung di dunia pendidikan.
Berduklah dunia pendidikan, kemana semangat Ing Ngarso Sung Tulodo,
Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani yang selalu
didengung-dengungkan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantoro.
Menurut hemat penulis, pemasungan anak negeri diklasifikasikan dalam 3
sumber pokok, yaitu pemerintah, guru dan siswa.


1. Pemerintah
Pemerintah adalah sumber kejahatan terselubung paling utama dalam
dunia pendidikan Indonesia. Banyaknya kebijakan yang dikeluarkan,
mematahkan sebuah ketegasan yang telah diatur melalui Undang-undang
atau Peraturan Pemerintah. Sedikitnya ada tiga dalam catatan penulis,
kebijakan pemerintah yang sangat kontroversial dan akibatnya dapat
menghambat peningkatan sumber daya manusia serta iman dan taqwa siswa,
yaitu:
a) Mengusung pendidikan wajib belajar 9 tahun, namun membuka kejar
paket A, B, dan C
b) Kebijakan remedial untuk menuntaskan pembelajaran siswa, malah
membuat siswa malas belajar
c) Kebijakan yang tidak bijak dengan pelaksanaan Ujian Nasional yang
tidak diatur oleh UU No. 20 Tahun 2003 sebagai dasar pendidikan
nasional Indonesia dewasa ini

2. Guru
Setelah pemerintah, guru juga sangat berperan dalam menghambat
peningkatan sumber daya manusia. Dalam tulisan penulis di Media Cetak
"Era Perkembangan Budaya Bohong dan Budaya Serba Jalan Pintas"
melansir pernyataan Drs. Muhammad Nur, M.Pd yang mengungkapkan bahwa
75% guru di Indonesia terjebak menjadi guru. Penulis sangat setuju
dengan pernyataan tersebut, terbukti di era sekarang, pahlawan tanpa
tanda jasa yang menjadi penghargaan buat para guru, dewasa ini telah
menunjukkan ketidak profesionalisnya. Terbukti dengan beberapa catatan
penulis sbb:
a) Adanya oknum Kepala Sekolah yang berusaha mencuri soal UN sehari
sebelum pelaksanaan UN
b) Adanya guru yang bekerja sama dengan siswa dalam menjawab soal UN
c) Guru di Indonesia melalui organisasinya yang sering kali disebut
dengan nama PGRI, seringkali melakukan demonstrasi menuntut gaji yang
besar (kesejahteraan), sementara mereka belum maksimal melaksanakan
tugasnya sebagai penyampai ilmu pengetahuan, ironisnya sering
melakukan mogok mengajar disaat tuntutannya tidak dipenuhi
d) Banyak guru yang memanipulasi data, hanya untuk kepentingan pribadinya

3. Siswa
Guru kencing berdiri, siswa kencing berlari. Disaat guru sebagai orang
yang patut digugu dan ditiru tidak menampilkan sikap ketidak
profesionalismenya, maka hati siswa meronta. Siswa merasa terkungkung
kreativitasnya, sehingga semangat untuk belajar berkurang. Hasilnya,
siswa ke sekolah belajar bukan untuk menambah ilmu pengetahuan,
melainkan untuk mendapatkan nilai.
Selain itu, budaya bolos juga menjadi trend dikalangan siswa. Berani
bolos pelajaran sering membuat siswa merasa hebat karena bisa
melanggar peraturan sekolah. Walaupun pada dasarnya kerugian lebih
besar dibanding keuntungan.
Pekerjaan rumah yang mestinya dikerjakan di rumah malah dikerjakan di
sekolah. Saat dilaksanakan ujian, mengandalkan catatan atau
menyotek/kerja sama. Kalaupun hal itu tidak sempat dilakukan, siswa
pun mengandalkan remedial, untuk menuntaskan pembelajarannya.
Hal-hal inilah yang menjadi kejahatan terselubung di dunia pendidikan
yang dapat menghambat peningkatan sumber daya manusia, dan sekaligus
mengungkung kreativitas siswa.
Kenyataan ini berlaku untuk semua mata pelajaran. Mata pelajaran sains
tidak dapat mengembangkan kemampuan anak untuk berpikir kritis dan
sistematis, karena strategi pembelajaran berpikir tidak digunakan
secara baik dalam setiap proses pembelajaran di dalam kelas. Mata
pelajaran agama, tidak dapat mengembangkan sikap yang sesuai dengan
norma-norma agama, karena proses pembelajaran hanya diarahkan agar
anak bisa menguasai dan menghafal mata pelajaran. Mata pelajaran TIK
tidak diarahkan untuk menguasai komputer. Mata pelajaran bahasa tidak
diarahkan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi, karena yang
dipelajari lebih banyak bahasa sebagai ilmu bukan sebagai alat
komunikasi. Siswa hafal perkalian dan pembagian, tetapi mereka bingung
berapa harus membayar manakala ia disuruh membeli 2,5 kg beras, harga
satu kilo Rp. 12.500,00. Anak juga hafal
bagaimana langkah-langkah berpidato, tetapi mereka bingung ketika
mereka disuruh bicara di muka umum, demikian juga anak bagaimana cara
membuat suatu karya tulis, tetapi ketika harus menulis ia bingung
harus dari mana memulai, dan lain sebagainya. Gejala-gejala semacam
ini merupakan gejala umum dari hasil proses pendidikan kita.
Pendidikan di sekolah terlalu menjejali otak siswa dengan berbagai
bahan ajar yang harus dihafal, pendidikan kita tidak diarahkan untuk
membangun dan mengembangkan karakter serta potensi yang dimiliki,
dengan kata lain, proses pendidikan kita tidak pernah diarahkan
membentuk manusia yang cerdas, memiliki kemampuan memecahkan masalah
hidup, serta tidak diarahkan untuk membentuk manusia yang kreatif dan
inovatif.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasioanl
menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi pembelajaran dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara


C. Penutup
Menyangkut masa depan bangsa, kita tidak perlu takut menggelar
pertukaran pikiran secara lugas dan tajam. Yang kita pertaruhkan
adalah masa depan generasi muda kita yang rata-rata mulai pesimis
melihat masa depan. Bila pesimisme itu sampai berubah menjadi
apatisme, masih bisakah kita melihat masa depan kita dengan kepala
tegak dan yakin diri?
Bila makalah kritis ini diterima oleh sidang pembaca, sebagian atau
seluruhnya, tentu saya bersyukur dan berbahagia. Akan tetapi bila
ditolak sebagian atau semuanya, saya tetap bersykur dan merasa lega
karena kewajiban civil serta obligasi moral dan intelektual saya telah
saya tunaikan.
Akhirnya, saya kutip pernyataaan nabi Syu'aib a.s. seperti tertera
dalam kitab suci Al Qur'an: "Aku hanya menghendaki perbaikan
semampuku, Tiada keberhasilanku, kecuali dengan pertolongan Allah.
Kepada-Nya aku berserah diri, dan kepada-Nya pula aku akan kembali (Al
Qur-an, XI:88)
Dengan niat yang baik, marilah kita menghentikan Pemasungan Anak Negeri

No comments:

Post a Comment

Sampaikan Komentar Anda !!!

Massappa Werekkada