TULISAN DALAM BLOG INI, JUGA DAPAT DIBACA DI:

09 September 2016

Matriks dan Naskah (Tugas ke-3 KMO 07)


Judul Buku                        :    Ketika Cinta dan Seks Menjadi Problematika Remaja
Nama Penulis                     :    Yasser A. Amiruddin
Jenis Buku                         :    Bacaan Remaja
Target Pembaca                 :    Usia 13 – 25 tahun
Pendidikan                        :    Minimal SD Kelas IV
Fisik Buku
  • Halaman Naskah   :    103 Halaman
  • Ukuran buku          :    13 x 19 Cm
  • Cover                     :    Soft Cover
  • Perkiraan halaman :    125 Halaman
  • Perkiraan harga      :    Rp. 40.000 – Rp. 50.000
Konsep                          :    Buku ini disusun berdasarkan riset pustaka (library research). Diharapkan, tulisan ini dapat menambah cakrawala dan khasanah bagi para pembaca khususnya dibidang pendidikan seks. Dengan demikian, remaja Islam akan terhindar dari perilaku menyimpang seperti pacaran.
Desain                        :    Covernya berwarna merah jambu, bergambar pemuda dan pemudi Islam yang menghindari fitnah berduaan.
Tema                                  :    Cinta dan Seks Education
Manfaat Bagi Pembaca     :    Buku ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi pembacanya untuk menghindari pacaran sebelum nikah
Strategi Pemasaran            :    Menggunakan strategi pemasaran secara  offline dan online.
Naskah                               :   

Seks bagi sebagian orang khususnya bagi masyarakat peradaban timur terdengar sangat menyeramkan. Membicarakannya merupakan suatu hal yang tabu, apalagi mengaitkannya dengan anak-anak. Namun, apakah seks itu buruk? Pada hakikatnya tentu saja tidak. Pendidikan yang diberikan pada anak pun sebagian besar bermain pada ranah sangat abstrak, seperti nilai-nilai baik dan buruk, tentang Tuhan, kesopanan, toleransi, cinta dan kasih sayang, dan sebagainya. Saat ini ada satu area yang paling tidak harus mulai dipikirkan oleh semua orang tua, yaitu pendidikan seks. Adalah hak anak untuk mendapatkan informasi tentang seks, hubungan seksual, fungsi-fungsi reproduksi dan pengendalian kehamilan, penyakit menular seksual dan juga pelecehan seksual.
Naluri seksual merupakan sunatullah yang kuat dan amat penting bagi kelangsungan eksistensi umat manusia. Karena itu, sungguh aneh ketika sebagian orang memandang seks sebagai "barang haram" dan mengharamkan diri dari kenikmatan alami ini. Disisi lain, tak kalah anehnya, terdapat kelompok yang memandang seks sebagai naluri yang harus diumbar sebebas-bebasnya, tanpa batasan apa pun.
Dari waktu ke waktu, perbincangan tentang seks mengemuka dengan cara yang semakin terbuka, dalam berbagai bentuk, lewat berbagai media, seperti buku, surat kabar, majalah, seminar, radio, televisi, dan sebagainya. Sejalan dengan gencarnya serbuan arus pemikiran Barat, gagasan dan pola perilaku seks Barat pun menjadi semakin lazim dikalangan kita, kaum Muslim.
Ketika budaya Barat dengan "seks bebas"nya yang melecehkan etika dan agama terus membanjiri kita, terasa sangat perlu adanya tuntunan Islam dalam hal ini, terutama bagi kaum muda, anak-anak dan remaja Muslim. Sebagai agama yang lengkap, Islam membimbing umat manusia dalam seluruh aspek kehidupannya, tak terkecuali da­lam masalah seks. Tidak saja secara teoritis, tetapi juga secara praktis.
Anak-anak di dunia Barat memperoleh pendidikan seks yang berlebihan sampai ke ukuran yang tak terbayangkan oleh generasi sebelumnya. Sangat penting bagi orang tua zaman sekarang untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah dalam masalah pendidikan seks bagi anak-anaknya. Hanya orang tua Muslim yang mengetahuinya yang akan mampu menghadapi masalah ini dengan benar dan bertanggung jawab.
Pendidikan seks yang sebenarnya harus dimulai ketika anak-anak telah mencapai usia baligh, sekitar usia belasan tahun. Tujuan pen­didikan seks pada tahap ini ialah untuk membantu mereka mengerti bahwa mereka bertanggung jawab atas penggunaan alat kelaminnya. Mereka harus diajari bagaimana menanggulangi rangsangan seksual. Sedangkan bagi anak-anak yang belum baligh, pendidikan seks diberikan dengan tujuan mendidik mereka tentang bagaimana melindungi diri dari penyalahgunaan seks, dan juga yang terpenting pengenalan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan masalah seks, seperti istinja, istibra, uti'dzan, mandi wajib, dan sebagainya.
Dalam masyarakat permisif (serba boleh), pendidikan seks lebih ditekankan pada pencegahan kehamilan dan penyakit-penyakit menular seksual. Tidak ada usaha serius untuk menyadarkan orang-orang muda tentang baiknya kesucian dan pematangan sebelum kawin.
Pendidikan seks bagi anak-anak adalah perlu, namun harus berlandaskan pada nilai-nilai religius dan moral, serta membahas masalah itu secara komprehensif, dan bukan hanya sebagai program promosi bagi "pecabul-pecabul kapitalisme".
Dr. H. Boyke Dian Nugraha, SpOG, MARS seorang konsultan seks, dalam pengantarnya dalam buku “Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Islam” mengemukakan bahwa memberikan pendidikan seks kepada anak dan remaja tidaklah mudah. Masih banyak orang tua yang merasa rikuh dan tidak mengerti kapan dan bagaimana harus memulainya, bahkan sebagian di antara mereka masih beranggapan bahwa membicarakan masalah seks, apalagi kepada anak-anak, adalah sesuatu yang kotor dan tidak pantas.
Padahal pendidikan seks kepada anak-anak bukan mengajarkan cara-cara berhubungan seks, melainkan lebih kepada upaya memberikan pemahaman kepada anak, sesuai dengan usianya, mengenai fungsi-fungsi alat seksual dan masalah naluri alamiah yang mulai timbul; bimbingan mengenai pentingnya menjaga dan memelihara organ intim mereka, di samping juga memberikan pemahaman tentang perilaku pergaulan yang sehat serta risiko-risiko yang dapat terjadi seputar masalah seksual.
Orang tua adalah sumber utama bagi anak untuk bertanya tentang berbagai hal termasuk juga tentang seks. Seks disini tidak hanya terbatas pada hubungan seks saja, tapi juga semua aspek yang melingkupi seks. Aspek-aspek tersebut antara lain perbedaan jenis kelamin secara fisik, ungkapan atau ekspresi cinta dan kasih sayang, peran jenis kelamin/gender, tentang kahamilan dan bayi, dsb.
Hubungan yang terbuka antara orang tua dengan anak dapat membuat anak merasa nyaman dan aman untuk bertanya tentang seks. Banyak sekali hal yang ingin ditanyakan oleh anak karena seiring dengan perkembangan kognitifnya, anak juga banyak mendapatkan informasidari berbagai tempat. Dan banyak dari informasi tersebut yang tidak bisa dipercaya kebenarannya. Disinilah keberadaan dan keterbukaan orang tua sebagai tempat bertanya sangat dibutuhkan anak.
Dengan demikian diharapkan anak-anak dapat lebih melindungi diri dan terhindar dari bahaya pelecehan seksual, sementara para remaja dapat lebih bertanggung jawab dalam mempergunakan dan mengendalikan hasrat seksualnya. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seks dapat mencegah perilaku seks bebas, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, pelecehan seksual/ perkosaan, sampai mencegah penularan HIV/AIDS yang dewasa ini di Indonesia frekuensinya terus meningkat.
Hasil penelitian di Inggris menyebutkan bahwa 1 dari 6 orang tua tidak pernah berdiskusi tentang seks dengan anaknya, 1 dari 20 orang tua tidak pernah berniat untuk memulai pembicaraan tentang seks dengan anak, dan 1 dari 4 orang tua tidak membicarakan tentang penyakit menular seksual atau HIV/AIDS dengan anak. Penelitian tersebut juga mengungkapkan 90% orang tua yang menjadi responden tahu bahwa pendidikan seks untuk anak paling baik diberikan oleh orang tua, tapi mereka merasa tidak nyaman dan malu untuk membicarakan masalah seks dengan anak. Jadi bisa dilihat bahwa ada ketidaksesuaian antara niat baik dari orang tua dengan kenyataan yang dilakukan orang tua.
Pendidikan seks secara intensif sejak dini hingga masa remaja tidak bisa ditawar-tawar lagi. Apalagi mengingat sebagian besar penulara AIDS terjadi melalui hubungan seksual. Survai oleh WHO tentang pendidikan seks membuktikan, pendidikan seks bisa mengurangi atau mencegah perilaku hubungan seks sembarangan, yang berarti pula mengurangi tertularnya penyakit-penyakit akibat hubungan seks bebas.
Namun, pendidikan seks yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia, nilai-nilai kultur dan agama, sehingga akan merupakan pendidikan akhlak dan moral juga. Hanya yang menjadi masalah sekarang ini, pendidikan seks di Indonesia masing mengundang kontroversi. Masih banyak anggota masyarakat yang belum menyetujui pendidikan seks di rumah maupun di sekolah.
Sekalipun untuk tujuan pendidikan , anggapan tabu untuk berbicara soal seks masih menancap dalam benak sebagian masyarakat. Akibatnya, anak-anak yang berangkat remaja jarang yang mendapatkan bekal pengetahuan seks yang cukup dari orang tua. Bahkan anak-anak yang kedua orang tuanya bekerja rata-rata kehilangan panutan. Orang tua yang mestinya menjadi tokoh panutan utama, justru kurang berperan karena kesibukan mereka sendiri.
Pendidikan seks pasif, karena tanpa komunikasi dua arah semacam itu, sudah bisa mempengaruhi sikap serta perilaku seseorang. Dalam pendidikan seks anak tidak cukup hanya melihat dan mendengar sekali-dua kali, tapi harus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Sebab itu, pendidikan seks hendaknya menjadi bagian penting dalam pendidikan di sekolah. Orang tua dan pendidik wajib meluruskan informasi yang tidak benar disertai penjelasan resiko perilaku seks yang salah.
Namun, pendidikan seks di sekolah mestinya hanya pelengkap pendidikan seks di rumah. Bukan justru menjadi yang utama, kendati menurut beberapa pengamat, pendidikan seks di sekolah masih belum optimal.
Penjelasan yang baik soal seks, mampu membuka mata mereka betapa melakukan hubungan seksual pranikah itu tidak ada untungnya. Penyampaian materi pendidikan seks di rumah sebaiknya dilakukan kedua orang tua sebelum usia 10 tahun. Pendidikan bida diberikan secara bergantian, tapi umumnya ibu yang lebih berperan menjelang si anak akil balig, karena pada waktu itu, sudah terjadi proses diferensiasi jenis kelamin dan mulai muncul rasa malu (pada wanita mengalami haid, pertumbuhan payudara, dan pada laki-laki mengalami mimpi basah dan perubahan suara). Sebaiknya ibu memberikan penjelasan kepada anak perempuan dan ayah kepada anak laki-laki. Sekali waktu boleh diadakan komunikasi silang. Misalnya, kepada anak perempuannya seorang ayah dapat berdiskusi bagaimana perasaan-perasaan pria bila jatuh cinta, atau sebaliknya kepada anak laki-lakinya, ibu bisa mengungkapkan bagaimana perasaan seorang wanita bila didekati pria.
Menjelaskan tentang seks juga tidak perlu secara eksklusif. Itu bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Saat sedang sibuk memasak, misalnya, tiba-tiba di anak bertanya tentang kehamilan. Sang ibu tidak perlu menangguhkan jawaban atau menjanjikan jawaban akan diberikan panjang lebar di kamar, tapi bisa langsung saat itu juga. Tindakan ekslusif, menurut Paat, malah membuat si anak bisa berkesimpulan, seks merupakan sesuatu yang luar biasa dan harus dirahasiakan padahal pertanyaan seperti itu lumrah dan merupakan bagian dari kehidupannya.

No comments:

Post a Comment

Sampaikan Komentar Anda !!!

Massappa Werekkada