Judul Buku : Ketika Cinta dan Seks Menjadi Problematika
Remaja
Nama Penulis : Yasser A. Amiruddin
Jenis Buku : Bacaan Remaja
Target Pembaca : Usia 13 – 25 tahun
Pendidikan : Minimal SD Kelas IV
Fisik Buku
- Halaman Naskah : 103 Halaman
- Ukuran buku : 13 x 19 Cm
- Cover : Soft Cover
- Perkiraan halaman : 125 Halaman
- Perkiraan harga : Rp. 40.000 – Rp. 50.000
Konsep : Buku ini disusun berdasarkan riset
pustaka (library research). Diharapkan, tulisan ini dapat menambah cakrawala
dan khasanah bagi para pembaca khususnya dibidang pendidikan seks. Dengan demikian, remaja Islam akan
terhindar dari perilaku menyimpang seperti pacaran.
Desain : Covernya berwarna merah jambu, bergambar
pemuda dan pemudi Islam yang menghindari fitnah berduaan.
Tema : Cinta dan Seks Education
Manfaat Bagi Pembaca : Buku ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi
bagi pembacanya untuk menghindari pacaran sebelum nikah
Strategi Pemasaran : Menggunakan strategi pemasaran secara offline dan online.
Naskah :
Seks bagi sebagian orang khususnya bagi masyarakat peradaban timur
terdengar sangat menyeramkan. Membicarakannya merupakan suatu hal yang tabu,
apalagi mengaitkannya dengan anak-anak. Namun, apakah seks itu buruk? Pada
hakikatnya tentu saja tidak. Pendidikan yang diberikan pada anak pun sebagian
besar bermain pada ranah sangat abstrak, seperti nilai-nilai baik dan buruk,
tentang Tuhan, kesopanan, toleransi, cinta dan kasih sayang, dan sebagainya.
Saat ini ada satu area yang paling tidak harus mulai dipikirkan oleh semua
orang tua, yaitu pendidikan seks. Adalah hak anak untuk mendapatkan informasi
tentang seks, hubungan seksual, fungsi-fungsi reproduksi dan pengendalian
kehamilan, penyakit menular seksual dan juga pelecehan seksual.
Naluri seksual merupakan sunatullah yang kuat dan amat penting bagi
kelangsungan eksistensi umat manusia. Karena itu, sungguh aneh ketika sebagian
orang memandang seks sebagai "barang haram" dan mengharamkan diri dari
kenikmatan alami ini. Disisi lain, tak kalah anehnya, terdapat kelompok yang memandang seks sebagai naluri yang harus diumbar
sebebas-bebasnya, tanpa batasan apa pun.
Dari waktu ke waktu,
perbincangan tentang seks mengemuka dengan cara
yang semakin terbuka, dalam berbagai bentuk, lewat berbagai media, seperti buku, surat kabar, majalah, seminar,
radio, televisi, dan sebagainya.
Sejalan dengan gencarnya serbuan arus pemikiran Barat, gagasan dan pola perilaku seks Barat pun menjadi
semakin lazim dikalangan kita, kaum
Muslim.
Ketika budaya Barat
dengan "seks bebas"nya yang melecehkan etika dan agama terus membanjiri kita, terasa sangat perlu
adanya tuntunan Islam dalam hal
ini, terutama bagi kaum muda, anak-anak dan remaja Muslim. Sebagai agama yang lengkap, Islam
membimbing umat manusia dalam
seluruh aspek kehidupannya, tak terkecuali dalam masalah seks. Tidak saja secara teoritis, tetapi juga
secara praktis.
Anak-anak di dunia Barat
memperoleh pendidikan seks yang berlebihan sampai ke ukuran yang tak
terbayangkan oleh generasi sebelumnya. Sangat penting bagi orang tua zaman sekarang untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang
salah dalam masalah pendidikan seks
bagi anak-anaknya. Hanya orang tua Muslim yang mengetahuinya yang akan mampu menghadapi masalah ini
dengan benar dan bertanggung jawab.
Pendidikan seks yang sebenarnya harus dimulai ketika
anak-anak telah mencapai usia baligh, sekitar usia
belasan tahun. Tujuan pendidikan seks pada
tahap ini ialah untuk membantu mereka mengerti bahwa mereka bertanggung jawab atas penggunaan alat kelaminnya. Mereka harus diajari bagaimana
menanggulangi rangsangan seksual. Sedangkan bagi anak-anak yang belum baligh, pendidikan
seks diberikan dengan tujuan mendidik mereka tentang
bagaimana melindungi diri dari penyalahgunaan seks, dan juga yang terpenting
pengenalan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan masalah seks, seperti istinja, istibra, uti'dzan, mandi wajib, dan sebagainya.
Dalam masyarakat
permisif (serba boleh), pendidikan seks lebih ditekankan pada pencegahan
kehamilan dan penyakit-penyakit menular seksual.
Tidak ada usaha serius untuk menyadarkan orang-orang muda tentang baiknya kesucian dan pematangan
sebelum kawin.
Pendidikan seks bagi anak-anak adalah perlu,
namun harus berlandaskan pada nilai-nilai
religius dan moral, serta membahas masalah itu secara komprehensif, dan
bukan hanya sebagai program promosi bagi
"pecabul-pecabul kapitalisme".
Dr. H. Boyke Dian Nugraha, SpOG, MARS
seorang konsultan seks, dalam pengantarnya dalam buku “Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Islam” mengemukakan bahwa memberikan pendidikan seks kepada anak dan remaja
tidaklah mudah. Masih banyak orang tua yang merasa rikuh dan tidak mengerti
kapan dan bagaimana harus memulainya, bahkan sebagian di antara mereka masih
beranggapan bahwa membicarakan masalah seks,
apalagi kepada anak-anak, adalah sesuatu yang kotor dan tidak pantas.
Padahal pendidikan seks kepada anak-anak bukan mengajarkan
cara-cara berhubungan seks, melainkan lebih kepada
upaya memberikan pemahaman kepada anak, sesuai dengan usianya, mengenai fungsi-fungsi alat seksual dan masalah naluri
alamiah yang mulai timbul; bimbingan
mengenai pentingnya menjaga dan memelihara organ intim mereka, di samping juga memberikan pemahaman
tentang perilaku pergaulan yang sehat
serta risiko-risiko yang dapat terjadi seputar masalah seksual.
Orang tua adalah sumber
utama bagi anak untuk bertanya tentang berbagai hal termasuk juga tentang seks.
Seks disini tidak hanya terbatas pada hubungan seks saja, tapi juga semua aspek
yang melingkupi seks. Aspek-aspek tersebut antara lain perbedaan jenis kelamin
secara fisik, ungkapan atau ekspresi cinta dan kasih sayang, peran jenis
kelamin/gender, tentang kahamilan dan bayi, dsb.
Hubungan yang terbuka
antara orang tua dengan anak dapat membuat anak merasa nyaman dan aman untuk
bertanya tentang seks. Banyak sekali hal yang ingin ditanyakan oleh anak karena
seiring dengan perkembangan kognitifnya, anak juga banyak mendapatkan
informasidari berbagai tempat. Dan banyak dari informasi tersebut yang tidak
bisa dipercaya kebenarannya. Disinilah keberadaan dan keterbukaan orang tua
sebagai tempat bertanya sangat dibutuhkan anak.
Dengan demikian
diharapkan anak-anak dapat lebih melindungi diri dan
terhindar dari bahaya pelecehan seksual, sementara para remaja dapat lebih
bertanggung jawab dalam mempergunakan dan mengendalikan hasrat seksualnya.
Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seks
dapat mencegah perilaku seks bebas, kehamilan yang tidak diinginkan,
aborsi, pelecehan seksual/ perkosaan, sampai mencegah penularan HIV/AIDS yang
dewasa ini di Indonesia frekuensinya terus meningkat.
Hasil penelitian di
Inggris menyebutkan bahwa 1 dari 6 orang tua tidak pernah berdiskusi tentang
seks dengan anaknya, 1 dari 20 orang tua tidak pernah berniat untuk memulai
pembicaraan tentang seks dengan anak, dan 1 dari 4 orang tua tidak membicarakan
tentang penyakit menular seksual atau HIV/AIDS dengan anak. Penelitian tersebut
juga mengungkapkan 90% orang tua yang menjadi responden tahu bahwa pendidikan
seks untuk anak paling baik diberikan oleh orang tua, tapi mereka merasa tidak
nyaman dan malu untuk membicarakan masalah seks dengan anak. Jadi bisa dilihat
bahwa ada ketidaksesuaian antara niat baik dari orang tua dengan kenyataan yang
dilakukan orang tua.
Pendidikan seks secara
intensif sejak dini hingga masa remaja tidak bisa ditawar-tawar lagi. Apalagi
mengingat sebagian besar penulara AIDS terjadi melalui hubungan seksual. Survai
oleh WHO tentang pendidikan seks membuktikan, pendidikan seks bisa mengurangi
atau mencegah perilaku hubungan seks sembarangan, yang berarti pula mengurangi
tertularnya penyakit-penyakit akibat hubungan seks bebas.
Namun, pendidikan seks
yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia, nilai-nilai kultur
dan agama, sehingga akan merupakan pendidikan akhlak dan moral juga. Hanya yang
menjadi masalah sekarang ini, pendidikan seks di Indonesia masing mengundang
kontroversi. Masih banyak anggota masyarakat yang belum menyetujui pendidikan
seks di rumah maupun di sekolah.
Sekalipun untuk tujuan
pendidikan , anggapan tabu untuk berbicara soal seks masih menancap dalam benak
sebagian masyarakat. Akibatnya, anak-anak yang berangkat remaja jarang yang
mendapatkan bekal pengetahuan seks yang cukup dari orang tua. Bahkan anak-anak
yang kedua orang tuanya bekerja rata-rata kehilangan panutan. Orang tua yang
mestinya menjadi tokoh panutan utama, justru kurang berperan karena kesibukan
mereka sendiri.
Pendidikan seks pasif,
karena tanpa komunikasi dua arah semacam itu, sudah bisa mempengaruhi sikap
serta perilaku seseorang. Dalam pendidikan seks anak tidak cukup hanya melihat
dan mendengar sekali-dua kali, tapi harus dilakukan secara bertahap dan
berkelanjutan. Sebab itu, pendidikan seks hendaknya menjadi bagian penting
dalam pendidikan di sekolah. Orang tua dan pendidik wajib meluruskan informasi
yang tidak benar disertai penjelasan resiko perilaku seks yang salah.
Namun, pendidikan seks
di sekolah mestinya hanya pelengkap pendidikan seks di rumah. Bukan justru
menjadi yang utama, kendati menurut beberapa pengamat, pendidikan seks di
sekolah masih belum optimal.
Penjelasan yang baik
soal seks, mampu membuka mata mereka betapa melakukan hubungan seksual pranikah
itu tidak ada untungnya. Penyampaian materi pendidikan seks di rumah sebaiknya
dilakukan kedua orang tua sebelum usia 10 tahun. Pendidikan bida diberikan
secara bergantian, tapi umumnya ibu yang lebih berperan menjelang si anak akil
balig, karena pada waktu itu, sudah terjadi proses diferensiasi jenis kelamin
dan mulai muncul rasa malu (pada wanita mengalami haid, pertumbuhan payudara,
dan pada laki-laki mengalami mimpi basah dan perubahan suara). Sebaiknya ibu
memberikan penjelasan kepada anak perempuan dan ayah kepada anak laki-laki.
Sekali waktu boleh diadakan komunikasi silang. Misalnya, kepada anak
perempuannya seorang ayah dapat berdiskusi bagaimana perasaan-perasaan pria
bila jatuh cinta, atau sebaliknya kepada anak laki-lakinya, ibu bisa
mengungkapkan bagaimana perasaan seorang wanita bila didekati pria.
Menjelaskan tentang seks
juga tidak perlu secara eksklusif. Itu bisa dilakukan kapan saja dan dimana
saja. Saat sedang sibuk memasak, misalnya, tiba-tiba di anak bertanya tentang
kehamilan. Sang ibu tidak perlu menangguhkan jawaban atau menjanjikan jawaban
akan diberikan panjang lebar di kamar, tapi bisa langsung saat itu juga.
Tindakan ekslusif, menurut Paat, malah membuat si anak bisa berkesimpulan, seks
merupakan sesuatu yang luar biasa dan harus dirahasiakan padahal pertanyaan
seperti itu lumrah dan merupakan bagian dari kehidupannya.
No comments:
Post a Comment
Sampaikan Komentar Anda !!!