TULISAN DALAM BLOG INI, JUGA DAPAT DIBACA DI:

26 March 2010

JIWA ITU ADA

Filsuf dan Matematikawan Perancis, Rene Descartes berkesimpulan untuk
mencari kebenaran sejati harus selalu dimulai dengan cara meragukan
apa saja; meragukan yang dikatakan gurunya, meragukan kepercayaan,
bahkan meragukan eksistensinya dirinya sendiri. Pokoknya, meragukan
segala-galanya. Maka dari itulah muncul Proposisi: "Ketika aku
berpikir, maka aku ada" –Cogito Ergo Sum.

Kaka Revo pribadi tidak sepaham dengan pandangan Descartes, cobalah
renungkan oleh Anda, bisakan Anda memulai suatu usaha dengan penuh
keraguan. Siapapun juga tidak akan mau melakukan investasi entah dalam
bentuk apapun juga apabila ia meragukan akan hasilnya.

Manusia bisa menciptakan kapal terbang, bahkan sampai bisa meraih
bulan, bukannya diawali dengan keraguan melainkan berdasarkan
kepercayaan akan keberhasilannya. Begitu juga Martin Luther King Jr,
ia memulai gerakannya dimana ia percaya dan yakin bisa mewujukan
impiannya: "I Have A Dream!" Tanpa adanya kepercayaan ini; tidak
mungkin ia akan bisa berhasil.

Pandangan tersebut di atas sesuai dengan kredo dari Anselmus, Uskup
Agung Canterbury (1033 – 1109) dimana ia menyatakan: "Saya percaya
agar dapat mengerti - Credo ut intelligum" (Believe than understand).
Melalui pernyataan ia ingin menganjurkan bagi mereka yang ingin
mencari kebenaran (baca Allah) harus diawali dengan beriman dahulu,
jadi bukanlah sebaliknya seperti Decrates. Percaya itu menjadi kunci
utama, maka seluruh kepercayaan itu akan membangun seluruh pengertian
yang sejati.

Tapi rasanya sukar untuk bisa percaya akan keberadaanNya Allah yang
tidak pernah menampakan diri-Nya. Bahkan di tahap awal Masa Aufklärung
(Masa Pencerahan) Immanuel Kant sendiri pernah menyatakan, bahwa Allah
tidak memiliki tempat dalam lingkungan rasio. Walaupun demikian ia
mengakui adalah suatu hal yang tidak mungkin bagi Allah sehingga bisa
masuk dalam kategori rasio kita. Sebab pada saat dimana Dia
"membatasi" diri masuk kategori terbatas, atribut
ke-TAK-TERBATAS-an-Nya otomatis terlucuti alias ke-illahi-an-Nya
terlukai. Jadi jelas ini tidak mungkin, bagaimana rasio manusia yang
terbatas bisa mengenal Allah yang tak terbatas.

Seorang ahli bedah bisa mengetahui semua bagian otak manusia, tetapi
hingga kapanpun juga ia tidak akan pernah bisa mengetahui impian
pasiennya.

Bisakah Anda percaya, bahwa walaupun otak sudah mati, kenyataannya
pikiran orang itu masih tetap bisa berjalan terus? Bahkan hal ini
telah dibuktikan secara sains oleh Dr Levi-Montalcini pemenang hadiah
Nobel yang bekerja di EBRI (European Brain Research Institute) – Roma.
Ia pernah melakukan sebuah studi prospektif dimana ia mewawancarai
lebih dari seratus orang yang pernah mengalami mati suri (Pengalaman
Dekat-Ajal – Near Death Experience).

Jelas seorang yang sudah benar-benar dinyatakan mati klinis,
seharusnya tidak bisa melihat, mendengar ataupun berpikir apapun juga,
karena otaknya sudah mati secara klinis. Orang baru dinyatakan mati
klinis; apabila jantungnya berhenti, gelombang otak EEG-nya menjadi
datar total. Batang otak dan belahan kiri-kanan korteks serebral
menjadi tidak responsif, lalu suhu tubuh turun menjadi dingin 16 C
yang biasanya sekitar 36,6 C.

Namum 18% dari sang pasien yang diwawancarai melaporkan, bahwa
kenyatannya mereka masih bisa mengingat dengan baik mengenai hal-hal
apa saja yang mereka lihat dan dengar selama mereka mati klinis. Dan
pernyataan mereka itu benar semua. Dari sinilah terbuktikan, bahwa
manusia itu memiliki jiwa yang tidak pernah bisa dijelaskan secara
rasio maupun sains.

No comments:

Post a Comment

Sampaikan Komentar Anda !!!

Massappa Werekkada