TULISAN DALAM BLOG INI, JUGA DAPAT DIBACA DI:

02 August 2008

HARAPAN MENJELANG TAHUN PELAJARAN 2007/2008

Oleh : Yasser Arafat AMP *)

Diketik Tgl. 19 Juni 2007

Tidak ada habis-habisnya jika kita berbicara tentang pendidikan di negara kita. Dalam sebuah tulisan penulis pada media cetak lokal berjudul “Beginikah Pendidikan Indonesia?”, penulis mengungkapkan kata kunci bahwa dunia pendidikan kita sudah dibelenggu dengan kejahatan yang tidak dirasakan. Sektor pendidikan masih terus diperlukan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bertahan menghadapi dunia persaingan global. Di sisi lain, di Indonesia, 8% anak usia 12 tahun kebawah, 36% anak usia 13 – 15 tahun dan 43% anak 15 – 18 tahun belum disentuh dunia pendidikan. Tak mengherankan memang jika dari 112 negara, Indonesia berada diurutan 110 berdasarkan Human Developmen Index ataukah dari 12 negara, Indonesia berada diurutan paling buntut berdasarkan penelitian Political Risk Consultation. Sementara hal yang mestinya tidak boleh dibanggakan malah menembus posisi nomor wahid di dunia yakni angka kriminal, korupsi, kebutaan, penjarahan hutan, dll.

Untung di Indonesia masih ada Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku sampai saat ini. UU tersebut mempunyai tujuan yang sangat mulia yakni membangun manusia Indonesia seutuhnya. Selain itu visi UU tersebut adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Akan tetapi, kenapa tujuan mulia ini hanya sebatas wacana yang selalu dibicarakan dari seminar ke seminar? Olehnya itu, sistem pendidikan Indonesia masih membutuhkan pemikir-pemikir yang intelektual untuk memecahkan berbagai macam persoalan yang ditemui dalam perjalanan mencapai tujuan sistem pendidikan nasional yang telah diamanahkan pembukaan UUD 1945 “Mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Disadari atau tidak, keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia apabila kegiatan belajar mampu membentuk pola tingkah laku peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan, serta dapat dievaluasi melalui pengukuran dengan menggunakan tes dan non tes. Proses pembelajaran akan efektif apabila dilakukan melalui persiapan yang cukup dan terencana dengan baik supaya dapat diterima untuk memenuhi: (1) Kebutuhan masyarakat setempat dan masyarakat global; (2) Mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi perkembangan dunia global; (3) Sebagai proses untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Tahun Pelajaran 2006/2007 menyisakan banyak kenangan. Ujian Nasional yang terbilang berat dilalui dengan mudah dan dengan hasil yang menggembirakan. Meski dalam pasal 18 ayat 1 Permen no. 45 tahun 2006, dijelaskan bahwa peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN yakni memiliki nilai rata-rata minimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25; atau memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran lainnya minimal 6,00. Lebih berat lagi, UN tahun ini menggunakan sistem paket, tapi semua itu layaknya hanya sebuah bumbu-bumbu pendidikan karena hasil yang dicapai patut diacungi jempol, walau masih banyak kecurangan yang ditemukan.

Bocornya soal, bahkan ada oknum Kepala Sekolah yang berani mencuri soal adalah hal yang juga tidak akan terlupakan dari pelaksanaan UN tahun ini. Kerja sama antara guru dan siswa dalam pelaksanaan UN seperti Guru memanggil siswa ke WC kemudian memberikan kunci jawaban di tempat tersebut. Ataukah Guru mengirim jawaban melalui SMS ke handphone siswanya, juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kenangan Tahun Pelajaran 2006/2007. Sebenarnya hal tersebut sudah menjadi rahasia umum di dunia pendidikan kita, akan tetapi demi sebuah tatanan kehidupan yang baik mestinya sikap seperti ini ditiadakan. Apa artinya sebuah ijazah dengan nilai yang bukan dari hasil jerih payah sendiri. Dewasa ini banyak orang pintar dari segi kognitifnya, tapi rusak mentalnya. Orang seperti inilah yang merusak masyarakat dengan tindakannya yang amoral seperti korupsi, melakukan tindakan kriminal, dll.

Peningkatan SDM
Pernah penulis membaca sebuah tulisan pada sebuah buletin, terbitan tahun 1990-an mengungkapkan bawah jurus jitu yang menjadi andalan siswa selama ini adalah kerjasama/menyontek dan buka buku/catatan. Diakui “virus” macam ini kadang membuat jengkel berbagai pihak. Entah sampai kapan kata yang satu ini hilang di dada setiap pelajar. “ah, ndak usah belajar, nyontekkan lebih mudah”. Kilah seorang pelajar badung. Sehingga kadang mutu hasil evaluasi tak menjamin, padahal ditengah gencarnya peningkatan sdm, kok yang satu ini (menyontek) masih tetap jadi “anutan” bahkan menjadi “senjata pamungkas” dikalangan pelajar. Memang budaya menyontek enak ketimbang menghafal berbagai teori dan rumus yang menjemukan. Terkadang hal tersebut membuat pelajar jengkel jika yang dihafal tidak ada diujian dan malah yang tak disangka naik itu yang ada dalam soal. (Paragraf tersebut yang sempat penulis catat dalam sebuah buku, setelah membaca tulisan tersebut)

Di era sekarang, ternyata muncul lagi jurus baru yang tak kalah ampuhnya, yakni sebuah kata keramat yang sering disebut dengan nama remedial. Diakui bahwa remedial sebenarnya untuk menuntaskan pelajaran siswa. Tapi, apakah kita tidak pernah berpikir bawah remedial memiliki andil yang sangat besar dalam melawan cita-cita perjuangan bangsa sesuai yang diamanahkan UUD 1945 “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal tersebut dikarenakan malah memacu siswa untuk tidak belajar. “boro-boro belajar, pasti tuntas juga, khan ada remedial”, dari pelajar malas. Hasilnya, “Mutu pendidikan rendah”. Ini salah siapa? Jangan salahkan siapa-siapa, tapi mari kita bertanya kepada penentu kebijakan. Apa artinya dipertegas, tidak ada ujian susulan/pengulangan bagi yang tidak mencapai SKL/tidak lulus, jika hanya tiga hari setelah pengumuman mereka yang tidak lulus ikut ujian penyetaraan? Pertanyaan sekarang, apa bedanya ujian susulan dengan ujian penyetaraan?

Inilah yang pernah penulis angkat dalam sebuah tulisan pada dua media cetak lokal terbitan Sulawesi Selatan. Bukan bahan lelucon lagi disaat mereka yang lulus dipendidikan formal dipimpin oleh mereka yang tamat dipendidikan nonformal. Kenapa dari sini kita tidak pernah berpikir bagaimana kulitas mereka? Bagaimana jadinya jika disuatu saat nanti lulusan kejar paket C mengajar di Pascasarjana? Bahkan, penulis khawatir, dimasa yang akan datang pemerintah kembali membentuk kejar paket D yang setara dengan program diploma atau kejar paket E yang setara dengan progran strata, hingga akhirnya pendidikan di Indonesia berakhir dengan PAKET KEJAR-KEJARAN

Menyikapi hal tersebut, menjelang Tahun Pelajaran 2007/2008, penulis berharap, pemerintah mengutamakan bidang pendidikan. Dalam amandemen IV UUD 1945 pasal 31 ayat 4 berbunyi Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Tapi pada kenyataannya tahun 2007 ini hanya 11% yang digunakan untuk pendidikan. Padahal layanan pendidikan yang belum bermutu dan merata adalah beban utama pemerintah saat ini di bidang pendidikan.

*) Penulis adalah Pengurus Komite dan ICT Organizer SMA Negeri 1 Maniangpajo

No comments:

Post a Comment

Sampaikan Komentar Anda !!!

Massappa Werekkada