TULISAN DALAM BLOG INI, JUGA DAPAT DIBACA DI:

02 August 2008

PENDIDIKAN SEBAGAI BUMBU PENYEDAP POLITIK

Oleh : Yasser Arafat AMP *)
(Diketik Tgl: 5 Oktober 2007)

Tulisan ini bukan kampanye, namun sebagai wujud kepedulian karena hiruk-pikuk politik menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sulawesi Selatan semakin ramai di seluruh kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan. Wajar saja, karena jika tidak ada aral melintang, 5 Nopember 2007 yang akan datang menjadi moment bersejarah tentang siapa yang akan memimpin Sulawesi Selatan lima tahun kedepan.

Pasangan Amin Syam – Mansyur Ramli, Syahrul Yasin Limpo – Agus Arifin Numang dan Azis Qahar Muzakkar – Mubyl Handaling, dipastikan akan bertarung dalam pilkada 2007. berbagai trik, taktik, strategi, dan upaya yang dilakukan oleh para calon untuk memenangkan pertarungan ini, sekaligus menjadi penguasa di Sulawesi Selatan lima tahun kedepan. Ada beberapa hal yang mendesak harus diperhatikan oleh para calon, dan hal utama yang mesti dibenahi adalah pendidikan Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan.

Dunia pendidikan Indonesia telah lama menghadapi permasalahan. Problematika pendidikan kita sudah bertumpuk, padahal pendidikan merupakan salah satu elemen dasar dalam pembangunan sebuah bangsa. Asep Imaduddin, dalam tulisannya di Suara Muhammadiyah edisi 05 Tahun ke-92 mengungkapkan bahwa: banyak orang masih memegang erat paradigma politik sebagai panglima, bukan pendidikan sebagai panglima. Kalaupun ada yang membawa-bawa pendidikan itu hanya pada masa kampanye pemilu (pilkada) saja yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas politik yang laku “didagangkan”. Setelah pemilu (pilkada) usai, semua janji itu entah ke mana?

Mungkin benar, mereka yang sudah melanglang buana di dunia politik, hanya bisa menjadikan pendidikan sebagai pemanis dalam menggapai cita-citanya sebagai penguasa daerah. Akibatnya, hingga sekarang pendidikan kita masih terpuruk, meski diakui beberapa kali generasi muda Indonesia telah mengharumkan nama Indonesia melalui olympiade sains internasional. Tapi, itu belum seberapa jika dibandingkan dengan peringkat Indonesia pada Human Developmen Index yang berada diurutan 110 dari 112 negara di dunia.

Salah satu fakta yang membuktikan, bahwa pendidikan hanya sebagai bumbu penyedap politik di Indonesia adalah pernyataan Wakil Presiden RI, Drs. H. Muhammad Yusuf Kalla, saat menjadi pembicara utama dalam seminar dihadapan ratusan guru di Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat seperti yang dilansir oleh Media Sinergi Edisi X Tahun I Juli 2007 mengatakan bahwa “PGRI tiap tahun mendemo, menggugat di MKRI dan tiap tahun pemerintah kalah, tapi pemerintah juga tidak bisa apa-apa”. Pertanyaan sekarang adalah, jika pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa, kenapa disaat kampanye, mereka gencar menjanjikan akan memproritaskan sektor pendidikan.

Penulis sebenarnya kasihan melihat tingkah dari sang pendidik kita yang layaknya buruh meminta balas jasa melalui demo-demonya, tapi semua itu tidak bisa disalahkan akibat ulah pemerintah sendiri yang selalu mengumbar janji. Menyikapi hal tersebut, tiga calon Gubernur Sulawesi Selatan yang akan bertarung dikancah politik Nopember mendatang, dituntut untuk memikirkan sektor pendidikan di Sulawesi Selatan. Salah satu masalah pendidikan yang menyisakan 1001 cerita yang paling unik dan aktual adalah petualangan pahlawan tanpa tanda jasa kita. Cerita ini pula yang mestinya digarap oleh ketiga calon penguasa tersebut untuk meyakinkan masyarakat.

Yang menjadi masalah sekarang, apakah janji-janji tersebut mampu diaplikasikan ataukah hanya sekedar buaian janji-janji kosong saat kampanye. Amin Syam, Syahrul Yasin Limpo, dan Azis Qahar Muzakkar adalah petarung-petarung sejati, tentunya tahu apa dan bagaimana yang mesti dilakukan. Namun, menurut hemat penulis, calon yang bersungguh-sungguh akan memperjuangkan dan mengangkat nasib guru sebagai pilar utama dalam keberhasilan dunia pendidikan adalah mereka yang memiliki istri, anak, cucu (keluarga dekat) sebagai seorang pengabdi pendidikan.

Pertanyaan sekarang, adakah keluarga dari ketiga calon tersebut yang berprofesi sebagai guru? Jika memang tidak ada, yakin lima tahun kedepan, angka guru yang mencari penghasilan tambahan sebagai tukang ojek, pemulung, pedagang kaki lima, dll, akan bertambah. Bukankah rasa kekeluargaan di Indonesia timur masih kental. Sehingga, calon Gubernur kita hanya akan mengaplikasikan janjinya bagi profesi yang seprofesi dengan keluarganya.

No comments:

Post a Comment

Sampaikan Komentar Anda !!!

Massappa Werekkada