TULISAN DALAM BLOG INI, JUGA DAPAT DIBACA DI:

16 August 2008

MAKANAN JOROK YANG MENGALAMI KEPUNAHAN

Cerita dari Pinggiran Virtual Danau Tempe (dari http://danautempe.wordpress.com {Posted by Vijjajonga})

Ronto' memiliki arti harfiah jorok atau kotor atau dekil. Seseorang yang berbadan dekil, tidak mandi dan awut-awutan biasanya diberi kata sifat "Maronto' dalam bahasa Bugis yang artinya bersifat kotor dan jorok.

Makanan ini pasti tidak populer di tempat lain. Makanan ini unik sekali karena tidak pernah ditemukan di mana-mana, kecuali dalam bentuk dan pengolahan yang sedikit berbeda seperti di Singapore yang diberi nama Cincalo. Cincalo adalah versi Ronto' yang diawetkan, tapi cara pengolahan, bentuk akhir serta rasanya sama sekali berbeda. Makanya Cincalo ini tidak berhak mewarisi kedahsyatan dan nama legendaris Ronto'. Cincalo dihadirkan dalam botol-botol ber-seal dan rasanya asin sekali. Saking asin, rasa aslinya tidak bisa kita rasakan lagi.

Bahan utama Ronto' adalah udang kecil berukuran kira-kira 1 cm, lebih besar daripada Teri Medan dan lebih kecil dari Ebi (udang kecil kering). Udang kecil ini ditemukan di sungai yang mengalir di pinggir kota Sengkang. Udang ini biasanya dapat ditemukan di pasar tradisional di tengah kota Sengkang dalam keadaan segar, malah terkadang dalam keadaan hidup. Udang-udang ini masih bercampur dengan serpihan-serpihan kotoran dan lumpur dari sungai. Para pedagang menempatkannya di atas daun-daun jati yang lebar.

Dari pasar, udang ini cukup diolah dengan sederhana dengan cara digelontor agar bersih. Lalu dicampurkan dengan perasan jeruk nipis, garam dan cabe atau lombok. Jadi tidak ada proses masak memasak untuk mengubah udang kecil ini menjadi makanan yang bernama Ronto'. Mungkin dari situlah makanan ini mendapatkan namanya. Ronto' memang sangat tidak higienis. Semua proses pencegahan penyakit dari mikorba-mikroba hanya dipercayakan pada proses penggelontoran dan asam dari perasan jeruk nipis itu. Kita juga berharap sepenuhnya pada keadaan sungai yang mudah-mudahan masih bersih. Yang terakhir ini sih sudah hampir dipastikan tidak terjadi karena makin hari polusi air sungai di Sengkang semakin menjadi hal yang biasa.

Ketidak-higienis-an Ronto' memang selalu bertolak belakang dengan sensasi rasa yang ia tawarkan. Ronto' memang enak sekali, setidak-tidaknya bagi saya pribadi. Namun ada sebuah peristiwa yang bisa membuktikan bahwa saya tidak sendiri. Sekitar tahun 1990, seorang kakak saya membawa temannya dari Bandung. Mereka semua berlima. Singkat cerita ketika tiba di Sengkang, disuguhilah mereka dengan hidangan Ronto' ini. Sebelum mulai mencicipi, mereka semua sudah diberi peringatan bahwa makanan ini enak tapi punya efek samping yang lumayan merepotkan. Bagi yang tidak terbiasa, kemungkinan akan menderita diare dan mencret-mencret (maaf… tiada kata lain yang bisa menggantikan). Proses pengolahannya pun diceritakan dengan lengkap. Empat dari kelima orang ini berani mengambil resiko, satu orang masih waras dan memilih untuk tidak makan. Hasilnya tiga dari empat orang tadi menderita mencret-mencret keesokan harinya. Tapi mereka toh tidak kapok untuk menyantap Ronto' ini.

Ronto' dapat berfungsi sebagai lauk, tapi paling sering adalah sebagai teman makan irisan mangga muda yang asem. Bagi anda yang bukan orang Sengkang, ini mungkin terdengar aneh. Tapi begitulah, makanan orang Sengkang dan Bugis pada umumnya memang banyak yang berasa asam. Rasa ini didapat dari asam, jeruk nipis, belimbing wuluh dan tomat. Ronto' juga demikian. Ia hadir dalam rasa yang asam, menemani rasa udang sungai yang khas.

Tampaknya species udang kecil itu memang sudah mulai mengalami kepunahan. Hanya musim-musim tertentu saja mereka tersedia, itupun dalam jumlah yang amat sedikit. Kepunahan udang kecil Ronto' tidak terpisah dari menurunnya kondisi lingkungan tempat hidupnya. Mereka hidup dalam sebuah ekosistem besar Danau Tempe, dengan sungai-sungai yang masuk dan keluar daripadanya. Saat ini kondisi Danau Tempe menyedihkan. Sedimentasi merupakan permasalahan utama yang sering disebut-sebut orang. Sayangnya sebagian orang malah senang dengan sedimentasi ini karena mereka mendapatkan lahan tambahan untuk bertanam tanaman pangan. Maklumlah luas Danau Tempe bisa mencapai 35.000 Ha jika terisi air, dan menyusut hingga 13.000 Ha saat kering. Sedimentasi ini membuat luas danau makin berkurang dengan munculnya daratan-daratan baru. Dengan kondisi Danau Tempe yang dangkal itu lalu membuat sistem aliran air menjadi tidak terkendali pada saat musim hujan. Biasanya Danau Tempe ini berfungsi untuk menampung limpahan air dari sungai-sungai arus hulu. Sengkang dan kota-kota sepanjang aliran sungai adalah langganan korban banjir yang terjadi semakin sering. Banjir terakhir terjadi di Sengkang terjadi di awal tahun 2007 dengan kerugian material diperkirakan 2,7 Milliar Rupiah.

Kondisi ini diperparah dengan bertambahnya kadar polutan dari lingkungan persawahan di wilayah hulu yang masuk ke aliran sungai. Ini berpengaruh pada kemampuan hidup dan daya tahan species-species tertentu sejenis udang Ronto' ini. Memang belum saya temukan penelitian yang khusus tentang hal ini, tapi dari logika hubungan sebab akibat mungkin dapat disimpulkan demikian.

Udang Ronto' bukan satu-satunya yang mengalami kekurangan produksi dari ekosistem besar Danau Tempe ini. Produksi perikanan Danau Tempe yang sempat berjaya beberapa dekade lalu dengan total 55.000 ton per tahun, kini hanya sanggup menyuplai hanya 11.000 ton per tahun. Jika kondisi ini terus berlangsung dapat dipastikan bukan hanya udang Ronto' saja yang mengalami kepunahan.

Ronto' adalah kebanggaan yang dapat saya hadirkan dalam bentuk tulisan di sini, sebagai warisan budaya asli orang Bugis. Mudah-mudahan segenap orang Bugis yang lain memahami hal ini dan bersama bersiap-siap untuk masa depan. Masa depan dihadirkan dalam dua pilihan, Masa Depan yang Cerah dan Masa Depan yang Suram. Saya percaya Orang Bugis tidak akan mementingkan dirinya sendiri yang menjadikannya memilih pilihan kedua.

Tabe' …..  Nyontek-ka'

No comments:

Post a Comment

Sampaikan Komentar Anda !!!

Massappa Werekkada