TULISAN DALAM BLOG INI, JUGA DAPAT DIBACA DI:

16 August 2008

BUKUNYA ACCHER

BAB VI
PENUTUP

A. EPILOG KESHALEHAN KOLEKTIF
Negeri yang "baldatun thayyibatun wa Robbun ghafur" atau negeri aman sentosa, dan penuh dengan maghfirah Allah SWT. adalah negeri dambaan kita bersama. Namun hingga kini negeri impian tersebut baru sebatas konsep belaka. Perwujudannya masih jauh dari harapan.
Sulitnya mewujudkan negeri impian ini bukan minimnya alim ulama dan para intelektual di Indonesia, namun sumber daya tersebut masih tercerai-berai, masing-masing asyik dengan gaya berpikir sendiri-sendiri. Di samping itu kendala dari luar berupa gempuran informasi yang tidak sehat baik yang meracuni moral remaja maupun masyarakat pada umumnya mengakibatkan Indonesia kian meradang. Pola hidup permisif seolah menjadi trend yang sulit ditanggulangi Akibatnya korupsi, kolusi dan nepotisme serta tindak kejahatan seksual generasi muda menjamur bak jamur di musim hujan.
Kondisi ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika Indonesia mau belajar dari sejarah. Penderitaan bertubi-tubi yang dialami Indonesia dari semenjak zaman penjajahan hingga masa era reformasi, idealnya cukup jadi pelajaran. Betapa persatuan dan kesatuan adalah modal paling prinsipil dalam membangun negeri yang "baldatun toyyibatun wa Robbun ghafur" . Betapa pun hebatnya konsep pemerintahan yang dibangun bangsa ini, namun jika tidak adanya persa­tuan rasa, suara dan usaha, baik antara ulama, umaro maupun umat, semuanya menjadi mentah bahkan melahirkan luka yang kian menganga.
Bersatunya rasa, suara dan usaha baik antara ulama, umaro maupun umat, Abu Al-Ghifari namakan keshalehan kolektif atau keshalehan menyeluruh. Kata shaleh itu sendiri secara bahasa berarti bersih, ikhlas, atau damai. Adapun menurut pengertian syar'i, shaleh adalah keikhlasan atau ketulusan hati seseorang untuk mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah), tanpa ujub, riya dan takabur. Sehingga muncul tekad untuk saling menolong, saling selamatkan dan bahu-membahu menuju kepentingan bersama serta menghindari hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan pribadi atau golongan.
Secara garis besar keshalehan kolektif menurut konsep Islam terdiri dari tiga unsur,
Pertama, keshalehan pribadi (diri sendiri dan keluarga). Firman Allah SWT: "Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari (konsep/gaya hidup yang menyebabkan kamu terperosok ke dalam) api neraka" (QS. Al-Hujurat : 6).
Ayat ini secara tekstual mewajibkan pada kaum muslimin agar berupaya menjaga diri sen­diri dan seluruh keluarga dari api neraka. Secara kontekstual, ayat ini seolah-olah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh pada undang-undang Allah SWT. (Al-Quran dan As-Sunnah) agar terhindar dari konsep syetan yang sejak semula memiliki target untuk meng­gelincirkan manusia dari taat kepada Allah SWT, Dalam surat An-Nas ayat terakhir (5), syetan itu terbagi dua yaitu yang berbentuk jin (iblis) dan manusia (thagut).
Syetan yang berbentuk jin (iblis) menggoda atau menggelincirkan manusia dari dalam (hati), Adapun thagut menggelincirkan manusia dari luar, yaitu dengan menawarkan konsep hidup yang jauh dari tatanan Quran-Sunnah, baik langsung maupun tak langsung. Konsep hidup menghalalkan segala cara (kapitalisme, materialisme, hedoisme) adalah di antaranya. Konsep ini dengan gencar ditawarkan pihak Barat ke dunia Islam melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik hingga dikenal dengan sebutan westernisasi.
Khusus untuk godaan dari dalam (godaan iblis), Rasulullah SAW memperingatkan dengan sabdanya: "Di hati manusia itu ada dua bisikan, yaitu (pertama) bisikan malaikat yang (ciri-cirinya) selalu membisikan agar manusia terdorong un­tuk selalu melakukkan yang haq (benar) dan menghindari dari perbuatan munkar (tercela). Bisikan yang lain (kedua), bisikan syetan yaitu (ciri-cirinya) selalu mendorong untuk melakukan perbuatan yang munkar dan menghindari dari yang haq serta memberikan keraguan tentang berbagai kebenaran." (Ihyaa Ulumuddin, Al-Ghazali).
Alhasil, jika keshalehan diri dan keluarga ini terwujud, merupakan awal yang baik. Karena bagaimana pun kecilnya sebuah keluarga, namun menjadi tonggak menuju negeri impian tadi. Jika keluarga hancur, maka negeri impian akan benar-benar menjadi mimpi belaka.
Kedua, keshalehan lingkungan masyarakat sekitar. Sebuah lingkungan masyarakat yang besar yang terdiri dari jutaan keluarga, namun di lingkungan itu hanya diisi oleh satu atau beberapa gelintir keluarga yang shaleh, tidak akan mampu menunjang terwujudnya "baldatun thayyibatun wa Robbun ghafur".
Untuk itu, lingkungan yang shaleh menjadi salah satu instrumen penting dalam membentuk seorang yang shaleh, Dengan lingkungan yang shaleh, maka seorang anak yang telah shaleh di keluarganya, akan menjadi anak yang lebih sha­leh dan mampu membangun lingkungannya. Sebaliknya seorang anak yang shaleh di keluarganya tidak terjamin akan terus shaleh jika ling­kungannya tidak shaleh,
Banyak kasus, seorang anak yang shaleh di keluarganya, namun ketika berada di lingku­ngan masyarakat, ia jadi beringas dan sulit diatur. Pergaulan memegang peranan penting dalam pembentukan jiwa anak. Dunia pendidikan pun mengakui bahwa lingkungan adalah pendidik yang paling berpengaruh pada kepribadian anak.
Kasus-kasus seperti kumpul kebo antar mahasiswa dan free sex di kalangan ABG adalah contoh yang paling menonjol akhir-akhir ini. Akibatnya muncul ekses sampingan berupa kian maraknya praktek aborsi. Parahnya lagi, masya­rakat kita seolah tidak ambil peduli dengan kondisi ini. Bahkan mungkin para orangtua sendiri menyadari kejadian ini, namun apa boleh buat, mereka sibuk dengan urusan bisnisnya masing-masing. Akibatnya, anak bebas berbuat tanpa ada kontrol keluarga dan lingkungannya.
Lingkungan yang shaleh akan mempu mengontrol anggota masyarakatnya dari perbuatan yang melanggar aturan. Bahkan seorang penjahat pun jika berada di lingkungan yang shaleh akan segan dan malu untuk berbuat munkar Sehingga satu sama lain saling menjaga. Jika ling­kungan seperti ini telah terwujud, maka jalan menuju "baldatun thayyibatun wa Robbun ghafur" tinggal selangkah lagi.
Ketiga, sistim negara yang shaleh. Komunitas masyarakat yang shaleh, namun tidak ditopang oleh sistim negara yang shaleh, maka negara tersebut sulit mencapai "baldatun toyyibatun wa Robbun ghafur". Mengapa demikian? Mengingat banyak kasus, sebuah negara yang mayoritas Islam, Turki dan Mesir umpamanya, sekalipun lingkungan masyarakat negara tersebut shaleh namun mengingat sistim negara yang tidak sha­leh (sekuler), maka yang terjadi adalah gejolak yang berkepanjangan. Rakyat tidak tentram dan negara pun jatuh-bangun karena tidak didukung oleh seluruh komponen masyarakatnya.
Sebuah negara yang memiliki sistim negara yang shaleh, akan mengayomi dan melindungi rakyatnya. Negara yang shaleh tidak akan mengizinkan masuk siapa pun yang hanya akan merusak tatanan yang sudah shaleh. Informasi-informasi yang tidak berguna dan cenderung menggelincirkan rakyat ke jurang kehancuran, tidak segan-segan akan ditolaknya. Negara yang sha­leh akan membentengi rakyatnya sedemikian rupa dari gangguan luar.
Sebuah sistim negara yang shaleh akan mampu berlaku adil dalam membagikan kue pembangunan. Tidak ada penumpukan kekayaan hanya disegelintir orang. Negara yang shaleh akan mampu menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Sehingga antara rakyat dan pemerintah akan ada keterkaitan batin dan masing-masing saling membutuhkan dan menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Jika sebuah negara sudah seperti itu, maka akan sangat sulit menemukan gerombolan orang yang berdemonstrasi, menuntut hak-haknya. Akan sulit menemukan pencemaran lingkungan, karena lingkungan ditata sedemikian rupa oleh tangan-tangan shaleh. Akan sulit menemukan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme karena mereka sadar apa yang diperbuatnya adalah dosa baik dosa kepada Sang Khalik (hablum minallah) maupun kepada rakyat banyak (hablum minannas), Juga akan sulit menemukan kasus-kasus pemerkosaan, kumpul kebo,free sex, dan praktek aborsi karena mereka sadar itu dosa dan hukuman dari sistim negara tersebut akan sangat berat bagi para penzina dan pembunuh.
Bagi para pemimpin yang curang, Rasulullah SAW. mengingatkan: "Setiap pemimpin yang mail dan saat itu ia tengah menipu rakyatnya, maka diharamkan surga baginya," (Mutafaq'alaihi).
Membentuk sistim negara yang shaleh diperlukan dua komponen pokok yaitu SDM (anggota legistalif dan eksekutif) yang Islami dan kesatuan pandangan. Sumber Daya Manusia yang shaleh di pemerintahan hanya akan lahir dari partai yang Islami. Maka memilih partai Islam dalam pemilu adalah fardlu 'ain jika kita menginginkan negara yang shaleh. Akan sangat mustahil seorang wakil rakyat wakil dari partai sekuler bahkan aliansi komunis membela sistim atau kepentingan Islam.
Jika SDM Islami sudah ada, yang kedua diharuskan adanya kesatuan pandangan. Kesa­tuan pandangan bukan berarti tidak adanya perbedaan. Namun jika musyawarah telah memutuskan suatu masalah, maka perbedaan itu tidak ada. Semua tunduk pada keputusan musyawarah.
Dengan sistim negara yang shaleh, maka akan lahir pejabat-pejabat negara baik eksekutif maupun yudikatif yang tunduk pada sistim yang shaleh tersebut. Mereka tidak akan berani melakukan hal-hal di luar sistim karena fatal akibatnya bagi diri sendiri maupun kelangsungan negara. Akhirnya, sebuah negara yang memiliki keshalehan kolektif, akan sangat disegani dan hak-haknya dihormati karena memang memiliki harga diri.
Kondisi seperti itu gambarannya ada pada zaman Rasulullah SAW. dan Khulafaur Rasyidin, Ketika itu seorang pemimpin begitu takut akan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Terbayang di benaknya bagaimana Allah SWT mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kelak. Tak heran jika Rasulullah SAW saat menjelang wafatnya memanggil para sahbatnya dan berkata "Siapa yang merasa aku sakiti dan belum sempat kalian balas atau aku meminta maaf?". Abu Bakar tak jauh kesederhanaannya dari Rasulullah SAW. beliau berpangkat khalifah, tapi hanya memiliki satu sorban saja. Begitu juga Umar ibnu Khathab hingga rela berkeliling kampung untuk memastikan bahwa kepemim­pinannya tidak mengkhianati rakyat. Tak heran jika saat itu "baldatun thayyibatun wa Robbun ghafur " terwujud.
Akankah negara impian ini terwujud sebagaimana zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin? Mungkin, jika kita terus berupaya menuju keshalehan kolektif. Saatnya kita introspeksi diri, mulai menshalehkan diri sendiri, kemudian keluarga, masyarakat, dan negara.

B. KESIMPULAN
Dari uraian yang begitu panjang mulai dari awal hingga akhir, maka dapat disimpulkan :
1. Islam memandang bahwa hubungan seksual adalah fitrah manusia yang harus dijunjung tinggi kehormatannya
2. Pendidikan seks, harus diberikan sejak dini dan dimulai dilingkungan keluarga
3. Pacaran berasal dari budaya jahiliyah dan bukan dari Islam, sehingga pacaran hukumnya haram. Akan tetapi, Islam tidak pernah melarang untuk jatuh cinta atau menjalin hubungan, justru Islam menganjurkannya. Asalkan tidak melampaui batas-batas yang telah digariskan Islam.

C. SARAN
Perkembangan zaman yang selalu berubah diikuti naik-turunnya moralitas manusia membawa suatu perubahan sosial yang begitu kompleks, menjadikan konsep psikologi pendidikan belum sepenuhnya dapat menjawab problema sosial itu. Atas dasar tersebut, penyusun menyarankan kepada pembaca agar pendidikan agama secara menyeluruh patut diajarkan dan diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Kepada para pendidik dan orang tua, supaya menanamkan prinsip moral dan akhlak mulia kepada anak didik pada kesempatan pertama dan memberi bimbingan secara intensif. Pendidikan seks, harusnya diberikan secara dini, agar penyimpangan seks dan penyimpangan etika seks dapat dihindari oleh anak atau remaja.

D. PENUTUP
Buku “Cinta dan Seks, Problema Terbesar Bagi Remaja” ini disusun berdasarkan riset pustaka (library research). Diharapkan, tulisan ini dapat menambah cakrawala dan khasanah bagi para pembaca khususnya dibidang pendidikan seks. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

No comments:

Post a Comment

Sampaikan Komentar Anda !!!

Massappa Werekkada